"Pada dasarnya hidup ini adalah perbuatan, dan
segala perbuatan baik lahir maupun batin adalah kontrol dari hati nurani kita.
Makalah ini berjudul “Hati Nurani” disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah BIOETIKA, lebih jauh lagi agar mahasiswa dapat memahami dan mempelajari
isi makalah ini sehingga dalam pengamalannya kita dapat memiliki hati nurani
yang baik agar dalam kehidupan sehari-hari kta dapat berperilaku yang baik
juga, karena hubungan hati nurani dengan masing-masing sub sangat erat, dimana
hati nurani ini adalah sebagai kontrol bagi perilaku kita".
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang Masalah
Pada dasarnya
hidup ini adalah perbuatan, dan segala perbuatan baik lahir maupun batin adalah
kontrol dari hati nurani kita. Makalah ini berjudul “Hati Nurani” disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah BIOETIKA, lebih jauh lagi agar mahasiswa dapat
memahami dan mempelajari isi makalah ini sehingga dalam pengamalannya kita
dapat memiliki hati nurani yang baik agar dalam kehidupan sehari-hari kta dapat
berperilaku yang baik juga, karena hubungan hati nurani dengan masing-masing
sub sangat erat, dimana hati nurani ini adalah sebagai kontrol bagi perilaku
kita.
Sebagai suatu
pengantar, perilaku adalah sebuah aspek yang akan dinilai oleh orang lain
terhadap kita. Oleh karena itu hati nurani sebagai instansi dalam hati kita,
perlu diberi pupuk agar menumbuhkan sifat, sikap dan perilaku yang baik juga
bagi manusianya. Seperti yang disabdakan Nabi SAW. Dalam sabdanya : “Hamba
Allah yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling baik budi pekertinya.”
Maka kita harus menjadi manusia yang mempunyai akhlak yang baik agar dicintai
Allah dan mahluknya.
Sedikit
mengulang tentang ilmu Filsafat dan Bioetika yang sangat erat kaitannya.
Filsafat sistematik memiliki tiga cabang utama: ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Aksiologi memiliki cabang-cabang, diantaranya adalah: etika. Etika
sebagai filsafat mempertanyakan: tentang yang harus atau tidak boleh dilakukan,
tentang yang baik dan yang buruk untuk dilakukan. Ada perbedaan antara etika
dengan moralitas. Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional tentang
nilai, ajaran dan pandangan-pandangan moral. Moralitas adalah ajaran yang
berlaku di masyarakat, yang menjadi obyek kajian etika. Sumber moralitas
macam-macam, ada yang berasal dari akal, dari agama, dari hukum, dan dari
kebiasaan yang dikembangkan. Dan tak lepas pula peran hati nurani; hati nurani
ikut serta menentukan wujud dan arah moralitas. Sebab itu hati nurani merupakan
salah satu obyek kajian filsafat Etika.
Untuk menghindarkan
diri dari perbuatan dosa karena perbuatan buruk maka kita harus mendengarkan
hati nurani. Saat terjadi perseteruan isi hati antara hati nurani kita dengan
bisikan hati yang mengajak keburukan, maka segera kuatkanlah kesadaran utama
kita untuk mengikuti bisikan hati nurani yang jelas-jelas akan membawa kita
melakukan hal-hal yang benar. Sebagai contoh, saat kita berpikir untuk
berbohong demi menutupi perbuatan buruk kita, maka hati nurani akan membisikkan
larangan untuk tidak berbohong.
Saat manusia
sudah tidak mau mendengarkan hati nuraninya, niscaya akan selalu melakukan hal
yang tidak benar, hanya saja kita tetap bersyukur karena hati nurani kita tidak
bosan-bosannya menyertai dan membimbing kita sepanjang hidup kita. Tuntutan
nilai-nilai dari hati nurani semakin bergema saat hukum jauh dari nilai-nilai
keadilan karena hanya sekedar berperan sebagai teknologi undang-undang yang
tidak mampu membawa bangsa dan negara ini ke arah kehidupan yang lebih teratur,
tertib, aman dan tenteram. Saat kemaksiatan semakin merajalela, saat ekonomi
belum juga mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Karena ia hanya menjadi
eksploitasi bisnis demi keuntungan pribadi dan kelompok. Ketika kemiskinan dan
kesejahteraan hanya menjadi bahan seminar dan diskusi karena belum mampu
melahirkan sikap keberpihakan pada rakyat yang menderita, maka dapat
dikatakan kita belum mampu benar-benar menggunakan dan mengaplikasikan
hati nurani untuk hal-hal yang buruk.
Kenyataannya,
walaupun sudah banyak yang menghimbau dan mengajak untuk menghidupkan hati
nurani, mulai dari rakyat kecil menghimbau dengan berbagi deritanya, para
aktivis dakwah dengan aneka taujih dan tausyiahnya, mahasiswa dengan gerakan
moralnya sampai dengan politisi dan presiden, gubernur, ataupun bupati yang
menghimbau dengan bahasa pidato yang mugkin sangat indah didengar namun jauh
dari kesungguhannya. Realitanya, belum ada perubahan yang segnifikan dalam
kehidupan kita. Mungkin masalahnya, ketidaktauan kita tentang apa hati nurani
itu sebenarnya.
1.2. Batasan Masalah
Hati nurani
sangat luas kajiannya, maka untuk membatasi pembahasan dalam makalah ini perlu
dibuat batasan masalah yaitu:
1. Definisi Hati
Nurani
2. Tempat Hati
Nurani
3. Fungsi Hati
Nurani
4. Macam-Macam
Hati Nurani
5. Sumber
Kekuatan Hati Nurani
6. Pembinaan
Hati Nurani
7. Saat Hati
Nurani Berbicara
1.3. Tujuan
Tujuan dari
makalah ini adalah untuk:
1. Untuk mengetahui definisi hati
nurani
2. Untuk mengetahui tempat hati
nurani
3. Untuk mengetahui fungsi hati
nurani
4. Untuk mengetahui macam-macam hati
nurani
5. Untuk mengetahui sumber kekuatan
hati nurani
6. Untuk mengetahui bagaimana
pembinaan hati nurani
7. Untuk mengetahui kapant hati
nurani berbicara
1.4. Manfaat
Manfaat dari
makalah ini adalah sebagai referensi dan pembelajaran baik bagi penulis maupun
pembaca, mengetahui tentang hati nurani, dapat menjaga, membina dan
menggunakan hati nurani sebagai suara ilahi.
BAB II
ISI
2.1.
Definisi Hati Nurani
Hati nurani dalam bahasa arab di
sebut dlamir atau wijdan sedang dalam bahasa inggris di sebut dengan
conscience. kata consciece diterjemah balik maka artinya menjadi suara hati,
kata hati atau hati nurani. Berdekatan dengan kata conscience, ada kata
conscious. Conscious artinya sadar, berkesadaran, atau kesadaran. Disamping
kedua kata ini, ada satu lagi yang berdekatan maknanya yaitu intuition,
intuition artinya gerak hati, lintasan hati, gerak batin.
Consciece sama dengan Conscience is
an ability or a faculty that distinguishes whether one’s actions are right or
wrong. It leads to feelings of remorse when one does. Hati nurani adalah
kemampuan yang membedakan apakah salah satu dari tindakan apakah benar atau
salah. The moral sense of right and wrong, chiefly as it affects one’s own
behaviour; Consciousness; thinking; awareness, especially self-awareness. Rasa
moral tentang yang benar dan yang salah, terutama karena akan mempengaruhi
tingkah laku sendiri; Kesadaran; berpikir; kesadaran, terutama kesadaran diri. Kesadaran
juga berarti peran kognitif diri yang memperjelas secara sadar di mana diri
kita saat ini dan bagaimana situasi lingkungan kita. Kajian-kajian yang
mendalam tentang hal ini dapat kita telusuri lebih jauh terutama di dalam sains
psikologi.
Maka Hati nurani adalah suatu
kekuatan dalam hati seseorang yang selalu memberikan penilaian benar dan
salahnya atau baik dan buruknya atau perbuatan yang akan di lakukan. Hati
nurani merupakan penerapan kesadaran moral yang tumbuh dan berkembang dalam
hati manusia dalam situasi konkret. Suara hati menilai suatu tindakan manusia
benar atau salah , baik atau buruk. Hati nurani tampil sebagai hakim yang baik
dan jujur, walaupun dapat keliru. Dalam hati, manusia sebelum bertindak atau
melakukan sesuatu , ia sudah mempunyai kesadaran atau pengetahuan umum bahwa
ada yang baik dan ada yang buruk. Setiap orang memiliki kesadaran moral
tersebut, walaupun kadar kesadarannya berbeda – beda.
Pada saat-saat menjelang suatu
tindakan etis, pada saat itu kata hati akan mengatakan perbuatan itu baik atau
buruk. Jika perbuatan itu baik, kata hati muncul sebagai suara yang menyuruh
dan jikaperbuatan itu buruk, kata hati akan muncul sebagai suara yang melarang.
Kata hati yang muncul pada saat ini disebut prakata hati. Pada saat suatu
tindakan dijalankan, kata hati masih tetap bekerja, yakni menyuruh atau
melarang. Sesudah suatu tindakan, maka kata hati muncul sebagai “hakim” yang
memberi vonis. Untuk perbuatan yang baik, kata hati akan memuji, sehingga
membuat orang merasa bangga dan bahagia. Namun, jika perbuatan itu buruk atau
jahat, maka kata hati akan menyalahkan, sehingga, orang merasa gelisah, malu,
putus asa, menyesal.
2.2.
Tempat Hati Nurani
Ada beberapa pendapat yang
menyatakan letak hati nurani dan tentu saja berdasarkan pengalaman yang
dialaminya misalnya :
Amin
Syukur (Trainer Menata Hati) menyatakan : bahwa letak hati nurani/sanubari ada
di dalam rongga jantung sebenarnya.
Erbe
Sentanu (Trainer Quantum Ikhlas) menyatakan bahwa hati adalah jantung.
Wuryanano-Trainer
Super Mind menyatakan hati nurani kita itu adalah pikiran baik yang terletak
dan tertanam di dalam pikiran bawah sadar kita.
Hadis
Rasullah : Di dalam diri manusia ada segumpal daging yang apabila ia baik maka
baiklah seluruhnya, jika ia rusak maka rusaklah seluruhnya. Ingatlah bahwa dia
itu adalah qalbu (hati). Namun hati di sini mengandung kiasan bukan hati
sebenarnya dalam organ tubuh.
Berdasarkan pendapat di atas dan
definisi hati nurani yaitu “suatu kekuatan dalam hati seseorang yang selalu
memberikan penilaian benar dan salah atau baik dan buruknya atau perbuatan yang
akan di lakukan”, maka dapat disimpulkan bahwa hati nurani bukanlah suatu benda
namun konkrit peranannya. Hati nurani seperti fatwa, berbicara tanpa suara dan
sering menyengat tanpa terlihat. Tapi, ia terasa. Sebab dari sanalah banyak
tindakan dan perilaku kita mengambil kiblatnya. Dari sanalah kebaikan dan
keburukan kita menapakkan pijakannya berupa niat dan tekad.
Ciri khas dari suara hati nurani
adalah ia tidak dapat ditawar dan hanya sepintas keluarnya dengan atau tanpa
disadari, ini berlaku mutlak. Mutlak di sini mempunyai arti ia tidak dapat
ditawar melalui pertimbangan-pertimbangan dalam bentuk apapun. Hal itu disebkan
karena suara hati nurani merupakan suara dari Maha Mutlak.
2.3.
Fungsi Hati Nurani
Fungsi hati nurani adalah sebagai
pegangan, pedoman atau norma untuk menilai suatu tindakan, apakah tindakan itu
baik atau buruk. Hati nurani berfungsi sebagai pegangan atau
peraturan-peraturan konkret di dalam kehidupan sehari-hari dan menyadarkan
manusia akan nilai dan harga dirinya. Sikap kita terhadap hati nurani adalah
menghormati setiap suara hati yang keluar dari hati nurani kita. Mendengarkan
dengan cermat dan teliti setiap bisikan hati nurani. Mempertimbangkan secara
masak dan dengan pikiran sehat apa yang dikatakan hati nurani dan melaksanakan
apa yang disuruh hati nurani.
2.4.
Macam-Macam Hati Nurani
Dapat di bedakan menjadi dua yaitu
hati nurani retrospektif dan prospektif
a.
Hati nurani retrospektif
Yaitu hati nurani yang memberikan
penilaian perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau, hati
nurani dalam arti retrospektif menuduh atau mencela bila perbuatanya jelek dan
menuju atau memberi rasa puas, bila perbuatanya di anggap baik . jadi hati
nurani ini merupakan semacam instansi ke hakiman dalam batin kita tentang
perbuatan yang telah berlangsung.
b.
Hati nurani prospektif
Yaitu hati nurani yang melihat ke
masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani
dalam arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu atau -seperti barang
kali lebih banyak terjadi- mengatakan “jangan” dan melarang untuk
melakukan sesuatu . Dalam hati nurani ini sebenarnya terkadang semacam ramalan
ia mengatakan, hati nurani pasti akan menghukum kita, andai kata kita melakukan
perbuatan itu. Dalam arti ini hati nurani prospektif menunjuk kepada hati
nurani retrospektif yang akan datang , jika perbuatan menjadi kenyataan
Hati
nurani bersifat personal dan adi personal
Berdasarkan sifatnya, hati nurani
dibedakan menjadi hati nurani bersifat personal dan hati nurani bersifat adi
personal.
a.
Bersifat personal
Artinya, selalu berkaitan erat
dengan pribadi bersangkutan. Norma-norma dan cita yang saya terima dalam hidup
sehari-hari dan seolah-olah melekat pada pribadi saya, akan tampak juga dalam
ucapan-ucapan hati nurani saya. Seperti kita katakan bahwa tidak ada dua
manusia yang sama, begitu pula tidak ada hati nurani yang bersifat sama.
Ada alasan lain lagi untuk
mengatakan bahwa hati nurani bersifat personal yaitu hati nurani hanya memberi
penilaianya tentang perbuatan saya sendiri, maksudnya hati nurani tidak
memberikan penilaianya tentang perbuatan orang lain. Saya hanya memperhatikan
norma-norma dan cita-cita yang juga di ikuti hati nurani saya.
b.
Bersifat Adi personal
Selain bersifat pribadi hati nurani
juga seolah-olah melebihi pribadi kita, seolah-olah merupakan instansi di atas
kita. Aspek “hati nurani”berarti hati yang diterangi (nur cahaya) .hati nurani
seolah-olah ada cahaya dari sinar yang menerangi budi dan hati kita. Aspek yang
sama tampak juga dalam nama-nama lain untuk menunjukan hati nurani suara
hati,kata hati,suara batin. Aspek ini sangat mengesankan hingga terungkap
banyak nama,tarhadap hati nurani ,kita seakan - akan menjadi “pendengar” kita
seakan-akan membuka diri terhadap suara yang datang dari luar. Hati nurani
mempunyai satu aspek teransenden artinya melebihi pribadi kita. Aspek adi
personal, orang beragama kerap kali mengatakan bahwa hati nurani adalah suara
tuhan atau bahwa tuhan berbicara melalui hati nurani, sehingga bagi orang
beragama hati nurani memiliki suatu dimensi religious.
2.6.
Pembinaan Hati Nurani
Dengan hati nurani yang baik dan
benar, seseorang akan selalu terdorong untuk bertindak melakukan kehendak Tuhan
dan menuruti norma-norma moral obyektif. Pembinaan hati nurani tidak hanya
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan seseorang tentang kebenaran dan
nilai-nilai, ataupun kemampuan untuk memecahkan dilema moral, tetapi juga harus
memasukkan ke dalamnya pembinaan karakter moral seseorang secara lebih penuh.
Pembinaan hati nurani merupakan upaya yang hakiki agar manusia lebih mampu
hidup dan bertindak sesuai dengan bisikan hati hati nurani yang bisa
dipertanggungjawabkan secara moral. Melalui pembinaan hati nurani, manusia
diharapkan bisa terhindar dari kesesatan dalam pengambilan keputusan dan
tindakan. Dengan begitu, perbedaan ataupun keragaman tidak menjadi permasalahan
yang dapat memicu konflik.
Dalam hadis diungkapkan
”Sesungguh-nya Allah tidak memandang bentuk dan tubuhmu, tetapi Dia
memperhatikan hati dan perbuatanmu.” (HR Muslim). Allah hanya memperhatikan
hati, karena hati itulah yang menjadi hakikat manusia. Karakter seseorang
berbeda dengan yang lain karena hatinya berbeda. Perbedaan itu pula yang
menyebabkan perbedaan dalam cara Allah memperlakukan sang hamba itu sendiri.
Sebagai contoh, seseorang dengan
hati nurani, melihat ada orang lain yang patut ditolong pasti akan ditolongnya
tanpa menghiraukan apa jenis warna kulitnya dari bangsa atau kelompok mana yang
ditolong itu berasal. Dengan hati nurani juga manusia bisa berbuat baik untuk
seluruh mahluk yang ada di alam ini dengan memberi perlindungan secara maksimal
dengan menjaga keseimbangannya. Inilah manusia yang dapat memberi rahmat atas
alam ini, pembawa damai dan toleransi.
2.6.
Beberapa Masalah Tentang Hati Nurani
1.
Hati Nurani Termasuk Perasaan, Kehendak atau Rasio?
Dalam sejarah filsafat sering dipersoalkan
apakah hati nurani termasuk perasaan, kehendak atau rasio. Sekarang kita sudah
mnenyadari bahwa persoalannya sebetulnya tidak boleh dirumuskan dengan cara
begitu. Dalam filsafat dewasa ini sudah terbentuk keyakinan bahwa manusia tidak
bisa dipisahkan ke dalam pelbagai fungsi atau daya. Kita harus bertolak dari
kesatuan manusia, di mana pelbagai fungsi dapat dibedakan tapi tidak boleh
dipisahkan. Dalam hati nurani pula memainkan peranan baik perasaan mau pun
kehendak maupun juga rasio. Tapi terdapat suatu tendensi kuat dalam filsafat
untuk mengakui bahwa hati nurani secara khusus harus dikaitkan dengan rasio.
Kami juga berpendapat demikian. Alasannya, karena hati nurani memberi suatu
penilaian, artinya, suatu putusan (judgement). Ia menegaskan : ini baik dan
harus dilakukan atau itu buruk dan tidak boleh dilakukan. Mengemukakan putusan
jelas merupakan suatu fungsi dari rasio. Tapi dalam hal ini perlu dibedakan
antara dua macam rasio : rasio teoretis dan rasio praktis. Rasio teoretis
memberi jawaban atas pertanyaan : apa yang dapat saya ketahui? Atau juga :
bagaimana pengetahuan saya dapat diperluas? Dengan demikian rasio dalam arti
ini merupakan sumber pengetahuan, termasuk juga ilmu pengetahuan. Sedangkan
rasio praktis terarah pada tingkah laku manusia. Rasio praktis memberi jawaban
atas pertanyaan : apa yang harus saya lakukan? Dengan itu rasio praktis memberi
penyuluhan bagi perbuatan-perbuatan kita. Kalau rasio teoretis bersifat
abstrak, maka rasio praktis justru bersifat konkret. Jati nurani juga sangat
konkret sifatnya dan mengatakan kepada kita apa yang harus dilakukan kini dan
di sini. Putusan hati nurani “mengkonkretkan” pengetahuan etis kita yang umum.
Pengetahuan etis kita (prinsip-prinsip moral yang kita pegang dan nilai-nilai
yang kita akui) hampir tidak pernah siap pakai dalam keadaan konkret. Hati
nurani seolah-olah merupakan jembatan yang menghubungkan pengetahuan etis kita
yang umum dengan perilaku konkret.
Biarpun putusan hati nurani bersifat
rasional, itu tidak berarti bahwa ia mengemukakan suatu penalaran logis
(reasoning). Ucapan hati nurani pada umumnya bersifat intuituf, artinya
langsung menyatakan : ini baik dan terpuji atau itu buruk dan tercela.
Pemikiran intuituf berlangsung “bagaikan tembakan” : langsung , satu kali
tembak, tidak menurut tahap-tahap perkembangan seperti dalam sebuah
argumentasi. Namun demikian, kadang-kadang putusan hari nurani bisa memiliki
sifat-sifat yang mengingatkan kita pada suatu argumentasi, terutama hati nurani
prospektif. Dalam contoh ketika Arjuna seolah-olah membentuk suatu penalaran.
Ia mulai dengan mempertimbangkan prinsip umum bahwa membunuh kerabat dan orang
yang dekat dengannya tidak boleh. Lantas ia melihat situasi yang dihadapinya :
ia harus bertempur melawan sanak saudara dan bekas guru-gurunya yang sangat
berjasa baginya. Dan akhirnya ia sampai pada kesimpulan : “saya tidak akan
berperang”. Tapi sebetulnya kesimpulan itu sendiri bersifat intuituf juga,
walaupun sudah dipersiapkan sebelumnya.
2.
Hati Nurani sebagai Hak
Mengikuti hati nurani merupakan
suatu hak dasar bagi setiap manusia. Tidak ada orang lain yang berwenang untuk
campur tangan dalam putusan hati nurani seseorang. Tidak boleh terjadi, seorang
dipaksa untuk bertindak bertentangan dengan hati nuraninya. Maka tidak
mengherankan, bila dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia
(1948) disebut juga “hak atas kebebasan hati nurani” (Pasal 18). Konsekuensinya
bahwa negara harus menghormati putusan hati nurani para warganya, bahkan kalau
kewajiban itu menimbulkan konflik dengan kepentingan lain. Dengan kata lain,
negara harus menghormati hak dari conscientious objector : orang yang
berkeberatan memenuhi suatu kewajiban sebagai warga negara karena alasan hati
nurani. Contoh terkenal adalah konflik yang sering dialami di negara-negara
yang mempraktikkan wajib militer. Di sana tidak jarang ada orang muda yang
menolak untuk memenuhi wajib militer dengan alasan hati nurani. Misalnya,
mereka menandaskan bahwa suara hati nurani melarang mereka ikut serta dalam
latihan-latihan militer yang bertujuan membunuh sesama manusia. Dalam kasus
semacam itu negara menghadapi dilema yang tidak mudah: menjalankan tugas-tugas
pertahanan nasional dengan baik atau menghormati hati nurani para warga negara.
Dulu orang seperti itu diadili dan divonis beberapa tahun di penjara. Dengan
demikian kepentingan nasional mengalahkan hak pribadi. Filsuf dan pengarang
besar dari Inggris, Bertrand Russell (1872 – 1970), di masa mudanya masih
sempat menjadi korban dari konflik kepentingan serupa itu. Ketika pada saat
Perang Dunia I a memprogandakan pasifisme dan menolak masuk dinas militer
Inggris, ia dipecat sebagai dosen Universitas Cambridge dan dipenjarakan
beberapa bulan. Tapi sekarang kebanyakan negara modern mengakui hak orang muda
untuk menolak masuk tentara karena alasan hati nurani. Hanya saja, mereka
diwajibkan mengikuti suatu masa pengabdian alternatif, misalnya, suatu tugas
sosial, yang tentu waktunya lebih lama dan imbalan finansialnya kurang,
dibandingkan dengan dinas militer. Alternatif itu harus kurang menarik secara
objektif untuk mencegah terlalu banyak orang akan menolak wajib militer dengan
dalih hati nurani. Bila orang memilih alternatif ini – membuktikan ia mengikuti
hati nuraninya dengan ikhlas dan tidak mencari alasan yang dibuat-buat.
3.
Hati Nurani adalah Norma Moral Terakhir
Dari semuanya ini dapat disimpulkan
bahwa hati nurani mempunyai kedudukan kuat dalam hidup moral kita. Malah bisa
dikatakan : dipandang dari sudut subjek, hati nurani adalah norma terakhir
untuk perbuatan kita. Kita selalu wajib mengikuti hati nurani dan tidak pernah
boleh kita lakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Dalam arti itu
hati nurani mengikat kita secara mutlak. Namun, harus berlangsung ditambahkan,
putusan hati nurani yang merupakan norma moral terakhir bersifat subjektif dan
belum tentu perbuatan yang dilakukan atas desakan hati nurani adalah baik juga
secara objektif. Hati nurani bisa keliru. Bisa saja hati nurani menyatakan
sesuatu adalah baik, bahkan wajib dilakukan, padahal secara objektif perbuatan
itu buruk. Sepanjang sejarah, banyak pembunuhan dan penganiayaan dilakukan
orang fanatik atau
Dalam kehidupan moral pribadi
peranan hati nurani sangat penting. Manusia adalah orang yang hidup baik
(secara moral) bila ia selalu hidup menurut hati nuraninya. Namun, bukan
sembarang hati nurani patut membimbing hidup moral kita, tapi hanya hati nurani
yang dididik dengan baik. Manusia bukan saja wajib untuk selalu mengikuti hati
nuraninya, ia wajib juga mengembangkan hati nurani dan seluruh kepribadian
etisnya sampai menjadi matang dan seimbang. Pada orang yang sungguh-sungguh
dewasa dalam bidang etis, putusan subjektif dari hati nurani akan sesuai dengan
kualitas moral objektif dari perbuatannya. Pada orang serupa itu, yang baik
secara subjektif akan sama dengan yang baik secara objektif. Karena itu perlu
kita pelajari lagi cara bagaimana keadaan ideal itu bisa dicapai.
4.
Hati Nurani dan Superego
Sering kali hati nurani dikaitkan
dengan “Superego”, bahkan tidak jarang kedua hal itu disamakan begitu saja.
Karena itu tidak ada salahnya, jika disini kita mempelajari juga “Superego”,
walaupun dengan demikian kita sebenarnya meninggalkan pokok pembicaraan etika
dan memasuki wilayah psikologi. Pada dasarnya pasal ini (dan dua pasal berikutnya)
termasuk apa yang sebelumnya disebut etika deskriptif dan bukan etika normatif
dalam arti sesungguhnya. Istilah “superego” berasal dari Sigmund Freud (1856 –
1939), dokter ahli saraf Austria yang meletakkan dasar untuk psikoanalisis. Ia
mengemukakan istilah itu dalam rangka teorinya tentang struktur kepribadian
manusia. Atau lebih tepat lagi, bila dikatakan bahwa ini teorinya yang kedua
tentang struktur kepribadian, yang sejak tahun 1923 (artinya, sejak bukunya The
Ego and The Id) menggantikan padangannya yang terdahulu. Kendati bertubi-tubi
terkena kritikan, serangan dan penolakan, namun minat untuk psikoanalisis Freud
bertahan terus dan rasanya untuk seterusnya pun tidak akan hilang. Pada tahun
2000, pada kesempatan pergantian abad, majalah Amerika Times mengeluarkan
sebuah nomor khusus tentang 100 tokoh paling penting dalam abad ke – 20 dan
Freud dimasukkan didalamnya, meskipun diakui juga bahwa ia masih tetap figur
yang kontroversial dan untuk masa depan tidak bias diharapkan hal itu akan
berubah.
Tubuh kita mempunyai struktur
tertentu : ada kepala, kaki, lengan dan batang tubuh. Psike kita juga mempunyai
struktur, walaupun tentu tidak terdiri dari bagian-bagian dalam ruang. Struktur
psikis manusia menurut Freud meliputi tiga instansi atau tiga sistem yang
berbeda-beda. Sebagaimana akan dijelaskan lagi, sistem-sistem ini memegang
peranan sendiri-sendiri dan kesehatan psikis seseorang sebagian terbesar
tergantung dari keharmonisan kerja sama diantaranyta. Ketiga instansi ini
masing-masing adalah Id, Ego, Superego.
Superego itu berhubungan erat dengan
apa yang kita sebut dalam etika dengan nama “hati nurani”. Tapi supaya hubungan
itu dapat dimengerti, perlu lebih dulu dijelaskan tentang ketiga instansi itu,
satu demi satu.
a.
Id
Freud pernah mengatakan bahwa hidup
psikis kita ibarat gunung es yang terapung-apung di laut. Hanya puncaknya
tampak diatas permukaan air, tapi sebagian terbesar gunung es situ tidak
kelihatan, karena terpendam air laut. Hidup psikis manusia juga untuk sebagian
terbesar tidak tampak atau – lebih tepat – tidak sadar, namun tetap merupakan
kenyataan yang harus diperhitungkan. Itu berarti, apa yang dilakukan oleh
manusia – khususnya yang diinginkan, dicita-citakan, dikehendaki – untuk
sebagian besar tidak disadari oleh manusia itu sendiri! Freud mengintroduksikan
kedalam psikologi paham “ketidaksadaran dinamis”, artinya, ketaksadaran yang
mengerjakan sesuatu dan tidak tinggal diam. Dengan itu ia mengadakan semacam
revolusi dalam pandangan tentang manusia. Pada permulaan psikologi modern hidup
psikis disamakan begitu saja dengan kesadaran. Hal itu diwarisi oleh psikologi
dari filsuf Prancis Rene Descartes (1596 – 1650) yang dijuluki “bapak filsafat
modern” dan menjalankan pengaruh besar atas psikologi, ketika mulai berkembang
sebagai suatu ilmu tersendiri. Bagi Descartes, kegiatan psikis yang tak sadar
merupakan suatu kontradiksi, karena hidup psikis sama saja dengan kesadaran.
Sejak Freud kita tahu bahwa ada juga aktivitas-aktivitas psikis yang tidak
disadari oleh subjek bersangkutan sendiri.
Freud memakai istilah “Id” untuk
menunjukkan ketaksadaran itu. Id adalah lapisan yang paling fundamental dalam
susunan psikis seorang manusia. Id meliputi segala sesuatu yang bersifat
impersonal atau anonim, tidak sengaja atau tidak disadari, dalam daya-daya
mendasar yang menguasai kehidupan psikis manusia.
Justru karena itu Freud memilih
istilah “Id” (atau bahasa aslinya “Es”) yang merupakan kata ganti orang
neutrum. Tentang Id berlaku : bukan aku (=subjek) yang melakukan, melainkan ada
yang melakukan dalam diri aku. Bagi Freud, adanya Id telah terbukti terutama
dengan tiga cara. Pertama, faktor psikis yang paling jelas membuktikan adanya
Id adalah mimpi. Buku yang pertama di bidang psikoanalisis justru membahas
mimpi (Penafsiran mimpi, 1900). Tentang mimpi berlaku bahwa “bukan sayalah yang
bermimpi tapi ada yang bermimpi dalam diri saya”. Bila bermimpi, si pemimpi
seolah-olah hanya merupakan penonton pasif. Tontonan itu disajikan kepadanya
oleh ketaksadaran. Kedua, adanya Id terbukti juga, jika kita mempelajari
perbuatan-perbuatan yang pada pandangan pertama rupanya remeh saja dan tidak
punya arti, seperti perbuatan keliru, salah ucap, “keseleo lidah”, lupa dan
sebagainya. Menurut pendapat Freud, perbuatan-perbuatan seperti itu tidak
kebetulan, tetapi berasal dari kegiatan psikis yang tak sadar. Misalnya, ketua
DPR Austria pernah membuka siding parlemen dengan mengetok palunya sambil
berkata : “Dengan ini siding saya tutup”. Maksudnya “buka”, tapi yang
dikatakannya “tutup”. Mengapa begitu? Karena bagi sang ketua, siding hari itu
terasa sangat berat. Ia ingin sekali agar siding itu cepat selesai. Keinginan
yang sadar itu mengakibatkan dia keseleo lidah. Atau contoh dari seorang murid
Freud yang lupa mengeposkan sepucuk surat. Jika ia berefleksi tentang kejadian
itu ia sampai pada kesimpulan bahwa ia “lupa” mengeposkan suratnya, karena
isinya tentang sesuatu yang amat berat baginya. Secara tak sadar ia tidak mau
mengirim surat itu dan karenanya ia sampai “lupa”. Freud memperlihatkan bahwa
perbuatan-perbuatan semacam itu berasal dari ketaksadaran dalam bukunya
Psikopatologi tentang hidup sehari-hari (1901). Ketiga, alasan paling penting
bagi Freud untuk menerima adanya ketaksadaran adalah pengalamannya dengan
pasien-pasien yang menderita neurosis. Penyakit neurosis merupakan teka-teki
medis yang besar bagi kalangan kedokteran pada waktu itu. Dari segi fisiologis
pasien-pasien itu tidak mengidap kelainan apa-apa, namun pada kenyataannya
mereka mempunyai bermacam-macam gejala aneh, seperti tangan lumpuh, untuk
beberapa waktu mata buta, dan sebagainya. Freud menemukan bahwa neurosis
disebabkan oleh faktor-faktor tak sadar. Misalnya, wanita muda berumur 21 tahun
yang menderita histeria (histeria merupakan salah satu contoh neurosis) dan
selama beberapa waktu tidak bias minum, hingga terpaksa menghilangkan rasa
hausnya dengan makan buah-buahan. “Keadaan ini berlangsung selama kira-kira
enam minggu, sampai pada suatu hari dalam hipnosis ia menggumam tentang guru
pribadinya, seoarang wanita berkebangsaan Inggris yang tidak disukainya. Dan
sambil menyatakan rasa muaknya, dilukiskannya bagaimana pada suatu hari ia
masuk kamar wanita ini dan melihat di situ anjing kecilnya – binatang yang
menjijikkan! – minum dari sebuah gelas. Pasian tidak berkata apa-apa, karena ia
mau berlaku sopan. Setelah dengan hebat ia mengeluarkan kemarahannya yang sudah
begitu lama disimpan dalam hati, ia minta minuman, lalu minum banyak sekali air
tanpa kesulitan apa-apa dan bangun dari hipnosis dengan gelas pada bibirnya.
Sesudah itu gangguan tersebut hilang sama sekali dan tidak kembali lagi. Freud
menemukan bahwa pasien neurotis bias sembuh dengan menggali kembali trauma
psikis yang terpendam dalam ketaksadarannya.
Jika dengan Id dimaksudkan
ketaksadaran, maka Id itu secara konkret terdiri dari apa? Apakah isinya? Id
terdiri dari naluri-naluri bawaan, khususnya naluri-naluri seksual (ingat,
misalnya, akan teori Freud tentang Kompleks Oedipus) serta agresif, lagi pula
keinginan-keinginan yang direpsesi. Pada awal mula, hidup psikis manusia
terdiri dari Id saja. Pada janin dalam kandungan ibunya dan pada bayi yang baru
lahir, hidup psikis untuk seratus persen sama dengan Id. Id itu hampir tanpa
struktur apapun dan secara menyeluruh dalam keadaan kacau balau. Namun
demikian, Id itulah yang menjadi bahan dasar bagi perkembangan psikis lebih
lanjut. Pada mulanya Id sama sekali tidak terpengaruh oleh kontrol pihak
subjek. Id hanya melakukan apa yang disukai. Kata Freud : Id dipimpin oleh
“prinsip kesenangan” (the pleasure principle). Dalam Id tidak dikenal urutan
menurut waktu; sebetulnya Id sama sekali tidak mengenal waktu (timeless).
Hukum-hukum logika pun tidak berlaku untuknya. Dalam mimpi sering kali kita
melihat hal-hal yang sama sekali tidak logis. Dan hal yang sama dapat dikatakan
tentang gejala-gejala neurotis. Walaupun faktor-faktor tak sadar memainkan
peranan besar dalam neurosis, perlu ditekankan bahwa Id atau ketaksadaran
merupakan suatu kenyataan psikologis yang normal dan universal. Hidup psikis
setiap manusia didasarkan atas Id itu.
b. Ego
Ego atau Aku mulai mekar dari Id
melalui kontaknya dengan dunia luar, khususnya dengan orang yang dekat
dengannya seperti orang tua dan pengasuh. Aktivitas Ego bias sadar, prasadar
mau pun tidak sadar. Tapi untuk sebagian besar Ego bersifat sadar. Sebagai
contoh aktivitas sadar boleh disebut : persepsi lahiriah (saya melihat pohon di
situ), persepsi batiniah (saya merasa sedih) dan proses-proses intelektual.
Sebagai contoh tentang aktivitas prasadar dapat dikemukakan fungsi ingatan
(saya mengingat kembali nama yang tadinya saya lupa). Dan aktivitas tak sadar
dijalankan oleh Ego melalui mekanisme-mekanisme pertahanan (defence
mechanisms), misalnya, orang yang dalam hati kecilnya sangat takut pada
kenyataannya berlagak gagah berani.
Ego dikuasai oleh “prinsip realitas” (the
realitiy principle), kata Freud, sebagaimana tampak dalam pemikiran yang
objektif, yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan sosial, yang bersifat rasional
dan mengungkapkan diri melalui bahasa. Jadi, prinsip kesenangan dari Id di sini
diganti dengan prinsip realitas. Adalah tuga Ego (bukan Id dan naluri-naluri)
untuk mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan
alam sekitar, lagi pula untuk memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan
konflik-konflik dengan keinginan-keinginan yang tidak cocok satu sama lain. Ego
juga mengontrol apa yang mau masuk kesadaran dan apa yang dikerjakan. Akhirnya,
Ego menjamin kesatuan kepribadian atau – dengan kata lain – mengadakan sintesis
psikis.
c. Superego
Superego adalah instansi terakhir
yang ditemukan Freud. Lama-kelamaan ia yakin bahwa di samping Id dan Ego masih
harus diterima suatu instansi lain yang seolah-olah bertempat diatas Ego (dan
karena itu namanya : Superego), sebab bersikap kritis terhadapnya, bahkan bisa
sampai menghantam. Mari kita mendengarkan suatu keterangan yang diberikan oleh
Freud sendiri. “Sepanjang proses terbentuknya teori analitis, mau tidak mau
harus kami akui adanya instansi lain, yang telah melepaskan diri dari Ego. Kami
menyebutnya “Superego”. Superego ini mempunyai tempat khusus di antara Ego dan
Id. Superego itu termasuk Ego, dan seperti Ego ia mempunyai susunan psikologis
lebih kompleks, tetapi ia juga mempunyai kaitan sangat erat dengan Id….
Superego dapat menempatkan diri di hadapan Ego serta memperlakukannya sebagai
objek dan caranya kerap kali sangat keras. Bagi Ego sama penting mempunyai
hubungan baik dengan Superego seperti dengan Id. Ketidakcocokan antara Ego dan
Superego mempunyai konsekuensi besar bagi hidup psikis. Barangkali Anda sudah
menerka bahwa Superego ini merupakan dasar bagi fenomena yang kita sebut “hati
nurani”. Boleh ditambahkan lagi, superego itu secara khusus berkaitan dengan
aspek suprapersonal dari hati nurani.
Superego adalah instansi yang
melepaskan diri dari Ego dalam bentuk observasi-diri, kritik-diri, larangan dan
tindakan refleksi lainnya, pokoknya, tindakan terhadap dirinya sendiri.
Superego dibentuk selama masa anak melalui jalan internalisasi (pembatinan)
dari faktor-faktor represif yang dialami subjek sepanjang perkembangannya.
Faktor-faktor yang pernah tampil sebagai “asing” bagi si subjek, kemudian
diterima olehnya dan dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari dirinya
sendiri. Larangan, perintah, anjuran, cita-cita dan sebagainya, yang berasal
dari luar (para pengasuh, khususnya orang tua), diterima sepenuhnya oleh si
subjek, sehingga akhirnya terpancar dari dalam. “Engkau tidak boleh mencuri”
(larangan dari orang tua) akhirnya menjadi “Aku harus mengembalikan barang
milik orang lain”. “Anak putri tidak boleh memanjat pohon” (teguran dari kakak)
menjadi “Saya tidak boleh memanjat pohon, karena hal itu tidak patut untuk anak
perempuan”.
Boleh dicatat lagi, internalisasi
ini adalah kebalikannya dari proses psikologis yang disebut “proyeksi”. Dalam
proyeksi, keadaan batin manusia diterapkan pada dunia luar. Misalnya, seorang
yang berwatak penakut di mana saja akan melihat bahaya. Bila berjalan di tempat
gelap pada malam hari ia akan melihat hantu. Yang dianggap “hantu” itu tidak
lain daripada keadaan batinnya yang diproyeksi ke luar. Atau contoh lain :
penyair bias melukiskan alam dengan menerapkan rasa batinnya padanya, sambil
mengatakan – misalnya – bahwa hutan bergembira ria. Dalam internalisasi,
sebaliknya, keadaan di luar manusia dimasukkan ke dalam batinnya.
Aktivitas Superego menyatakan diri
dalam konflik dengan Ego, yang dirasakan dalam emosi-emosi seperti rasa
bersalah, rasa menyesal, rasa malu, dan sebagainya. Perasaan-perasaan itu tentu
dapat dianggap normal. Tapi bias terjadi juga bahwa orang sungguh-sungguh
disiksa oleh Superego, sehingga hidup normal bagi dia sudah tidak mungkin lagi.
Dan perhatian Freud diarahkan ke Superego, terutama karena pengalamannya dengan
kasus-kasus seperti itu. Nanti kita bahas lagi hal ini secara lebih mendalam.
Hati nurani harus dikenal, dididik,
diarahkan, dan didewasakan dengan wahyu, akal dan budaya. Setiap kita punya
hati, dan di dalamnya nurani kita terus bergeletar menyuarakan pesan Ilahi.
Permasalahannya kemudia adalah bisa tidaknya pesan nurani itu bergerak keluar
menembus dinding hati lalu terdengar bergerincing. Seringkali ia hanya bisik.
Tak jelas. Atau bahkan terbungkam. Itu karena karat-karat dosa menjerujinya.
Kemudian, setiap suara hati hanya mampu menggetarkan jeruji-jeruji itu. Hingga
sering kali kita mengira suatu bisikan sebagai suara hati, padahal itu adalah
geretak jeruji dosa dan palang-palang nafsu. Nurani yang berbisik, menyakiti
hawa nafsu yang mengukungnya. Lalu hawa nafsu itu berteriak nyaring. Dan dialah
yang kita dengar.
Setiap kemaksiattan yang kita
lakukan menjadi noktah dosa yang menghitamkan hati. Awalnya, nurani kita selalu
mengirimkan tanda bahwa ia tresakiti. Tapi ketika hawa nafsu diperturutkan, dan
maksiat terus dilakukan, diulang dan diulang, noktah-noktah dosa telah menjadi
jeruji, membelenggu nurani hingga suaranya makin lirih.
Setiap manusia mempunyai pengalaman
tentang hati nurani dan mungkin pengalaman itu merupakan perjumpaan paling
jelas dengan moralitas sebagai kenyataan. Sulit untuk menunjukkan pengalaman
lain yang dengan begitu terus terang menyingkapkan dimensi etis dalam hidup
kita. Karena itu pengalaman tentang hati nurani itu merupakan jalan masuk yang
tepat untuk suatu studi mengenai etika. Dalam suatu pendekatan naratif kita mulai
dengan memandang tiga contoh yang berbeda tentang pengalaman hati nurani yang
dipilih dengan cara demikian, sehingga dapat dipakai dalam analisis
selanjutnya. Mudah-mudahan contoh-contoh ini sesuai dengan pengalaman pribadi
kita tentang hati nurani.
a. Ka’b ibn Malik
yang dikucilkan selama lima puluh hari oleh Nabi dan sahabat karena jujur
dengan kesalahannya.
b. Seorang hakim
telah menjatuhkan vonis dalam suatu perkara pengadilan yang penting. Malam
sebelumnya ia didatangi oleh wakil dari pihak terdakwa. Orang itu menawarkan
sejumlah besar uang, bila si hakim bersedia memenangkan pihaknya. Hakim yakin
bahwa terdakwa itu bersalah. Bahan bukti yang telah dikumpulkan dengan jelas
menunjukkan hal itu. Tapi ia tergiur oleh uang begitu banyak, sehingga tidak
bisa lain daripada penerima penawaran itu. Ia telah memutuskan terdakwa tidak
bersalah dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum. Kejadian ini sangat
menguntungkan untuk dia. Sekarang ia sanggup menyekolahkan anaknya ke luar
negeri dan membeli rumah yang sudah lama diidamkan oleh istrinya. Namun
demikian, ia tidak bahagia. Dalam batinnya ia merasa gelisah. Ia seolah-olah
“malu” terhadap dirinya sendiri. Bukan karena ia takut kejadian itu akan
diketahui oleh atasannya. Selain anggota keluarga terdekat tidak ada yang tahu.
Prosedurnya begitu hati-hati dan teliti, sehingga kasus suap itu tidak akan
pernah diketahui oleh orang lain. Namun, kepastian ini tidak bisa menghilangkan
kegelisahannya. Baru kali ini ia menyerah terhadap godaan semacam itu. Sampai
sekarang ia selalu setia pada sumpahnya ketika dilantik dalam jabatan yang
luhur ini.
c. Thomas Grissom
adalah seorang ahli fisika berkebangsaan Amerika Serikat. Selama hampir 15
tahun ia bekerja penuh semangat dalam usaha pengembangan dan pembangunan
generator neutron. Sedemikian besar semangatnya, sehingga ia hampir-hampir lupa
akan tujuan benda-benda yang dibuatnya itu, yaitu menggalakkan dan menghasilkan
senjata-senjata nuklir. Lama-kelamaan hati nuraninya mulai merasa terganggu,
khususnya setelah ia membaca dalam karya sejarahwan tersohor, Arnold Toynbee,
berjudul A Study of History, kalimat berikut ini: “Bila orang mempersiapkan
perang, sudah ada perang”. Baru pada saat itu ia menyadari, ia sedang
memberikan bantuannya kepada suatu perang nuklir yang mampu memusnahkan
sebagian besar permukaan bumi. Padahal, seluruh kepribadiannya memberontak
terhadap kemungkinan terjadinya hal serupa itu. Ia membicarakan kegelisahan
batinnya dengan istri. Ia mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi finansial, bila
ia berhenti bekerja di Laboratorium Nasional Amerika. Tentu ia menyadari juga,
bila ia keluar, tempatnya akan diisi oleh orang lain yang akan melanjutkan
pekerjaannya, sehingga tindakan protesnya tidak efektif sama sekali.
Bagaimanapun, Grissom memutuskan ia tidak bisa bekerja lagi untuk industri
persenjataan nuklir. Ia menjadi dosen pada Evergreen State College di Olympia,
Washington. Gajinya hanya kira-kira separuh dari 75.000 dolar yang diperolehnya
di laboratorium Nasional.
d. Pada awal
Bhagavad Gita kita menemukan suatu contoh bagus tentang konflik batin yang
berlangsung dalam hati nurani. Dalam sebuah kereta berkuda Arjuna menuju ke
tempat pertempuran bersama Khrisna yang bertindak sebagai saisnya. Tapi
setibanya di tempat tujuan ia melihat sanak saudara, guru-guru dan
sahabat-sahabat di antara tentara yang menjadi lawannya. Melihat keadaan itu,
“rasa sedih dan putus asa memenuhi hatinya”. Ia tidak tega berperang melawan
kerabat dan orang yang akrab dengannya. “Saya tidak mau membunuh mereka, sekalipun
saya sendiri akan dibunuh”. Busur saktinya terjatuh dari tangannya dan ia
sendiri rebah dalam kereta, hatinya dilimpahi keputusan dan kesedihan. Usaha
Khrisna untuk membesarkan hatinya tidak sedikitpun dapat mengubah sikapnya.
“Setelah mereka mati, masakan kita ingin hidup lagi?”. Dan dengan tegas ia
putuskan: “Saya tidak akan berperang, Khrisna”.
2.9. Kesadaran hati nurani
Apa itu hati nurani? Secara sangat
umum dapat dikatakan, hati nurani adalah “instansi” dalam diri kita yang
menilai tentang moralitas perbuatan-perbuatan kita, secara langsung, kini, dan
di sini. Dengan “kata nurani” kita maksudkan penghayatan tentang baik atau
buruk berhubungan dengan tingkah laku konkret kita. Hati nurani ini
memerintahkan atau memelarang kita untuk melakukan sesuatu kini dan di sini. Ia
tidak berbicara tentang yang umum, melainkan tentang situasi yang sangat
konkret. Tidak mengikuti hati nurani ini berarti menghancurkan integritas
pribadi kita dan mengkhianati martabat terdalam kita.
Dapat dikatakan
juga, hati nurani adalah kesadaran moral yang membuat kita menyadari baik atau
buruk (secara moral) dalam perilaku kita dan karena itu dapat menyuluhi dan
membimbing perbuatan-perbuatan kita di bidang moral. Dengan demikian hati
nurani berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai kesadaran. Untuk
mengerti hal ini perlu kita bedakan antara pengenalan dan kesadaran. Kita
mengenal, bila kita melihat, mendengar atau merasa sesuatu. Tapi pengenalan ini
tidak merupakan monopoli manusia. Seekor binatang pun bisa mendengar bunyi atau
mencium bau busuk dan karena itu bisa mengenal. Malah ada binatang yang dalam
hal pengenalan indrawi lebih unggul daripada manusia. Tapi hanya manusia
mempunyai kesadaran. Dengan kesadaran kita maksudkan kesanggupan manusia untuk mengenal
dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang dirinya. Manusia bukan saja
melihat pohon di kejauhan sana, tetapi ia menyadari juga bahwa dialah yang
melihatnya.
Di kebun binatang pernah terdengar
seorang anak kecil, berumur sekitar empat tahun, bertanya kepada ibunya :”Mami,
apakah gajah itu tahu bahwa dia seekor gajah?” tanpa disadarinya, dengan itu ia
mengemukakan suatu pertanyaan filosofis yang amat mendalam artinya. Kepada
filsuf cilik ini harus dijawab: gajah tidak tahu. Seekor binatang tidak
berfikir atau berefleksi tentang dirinya sendiri. Hanya manusia mempunyai
kesadaran. Dalam diri manusia bisa berlangsung semacam “penggandaan”: ia bisa
kembali kepada dirinya. Ia bisa mengambil dirinya sendiri sebagai objek
pengenalannya. Jadi, penggandaan di sini ialah bahwa dalam proses pengenalan
bukan saja manusia berperan sebagai subjek, melainkan juga sebagai objek.
Untuk menunjukkan
kesadaran, dalam bahasa latin dan bahasa-bahasa yang diturunkan daripadanya,
dipakai kata conscientia. Kata itu berasal dari kata kerja scire (mengetahui)
dan awalan con- (bersama dengan, turut). Dengan demikian conscentia sebenarnya
berarti “turut mengetahui” dan mengingatkan kita pada gejala “penggandaan” yang
disebut tadi: bukan saja saya sendiri sebagai subjek yang melihat. Bah, kata
conscientia yang sama dalam bahasa latin (dan bahasa-bahasa yang serumpun
dengannya) digunakan juga untuk menunjukkan “hati nurani”. Dalam hati nurani
berlangsung juga penggandaan yang sejenis. Bukan saja manusia melakukan
perbuatan-perbuatan yang bersifat moral (baik atau buruk), tetapi ada juga yang
“turut mengetahui” tentang perbuatan-perbuatan moral kita. Dalam diri kita,
seolah-olah ada instansi yang menilai dari segi moral perbuatan-perbuatan yang
kita lakukan. Hati nurani merupakan semacam “saksi” tentang
perbuatan-perbuatan moral kita. Kenyataan itu diungkapkan dengan baik melalui
kata latin conscientia.
Fenomena hati
nurani sebetulnya terdapat di segala zaman dan dalam semua kebudayaan. Tapi
dulu sering kali belum tersedia istilah jelas untuk menunjukkan fenomena itu.
Dalam teks-teks kuno seperti Kitab Suci Perjanjian Lama atau Bhagavad Gita
tidak ada suatu istilah untuk hati nurani, tapi fenomena yang dimaksud
dengannya di situ sudah dikenal, sebagaimana terbukti dalam contoh ketiga yang
diberikan di atas. Istilah “hati nurani” itu mempunyai sejarah berbelit-belit
yang tidak perlu ditelusuri di sini.”
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Tujuan pokok pembinaan hati nurani
dan mengetahui dasar-dasar hati nurani adalah dengan cara subyektif dan
objektif yang benar. Dengan hati nurani yang baik dan benar, seseorang akan
selalu terdorong untuk bertindak melakukan kehendak Tuhan dan menuruti norma-norma
moral obyektif. Pembinaan hati nurani tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan seseorang tentang kebenaran dan nilai-nilai, ataupun kemampuan
untuk memecahkan dilema moral, tetapi juga harus memasukkan ke dalamnya
pembinaan karakter moral seseorang secara lebih penuh dan merupakan upaya yang
hakiki agar manusia lebih mampu hidup dan bertindak sesuai dengan nuraninya,
manusia juga diharapkan bisa terhindar dari kesesatan dalam pengambilan
keputusan dan tindakan.
Ciri khas dari suara hati nurani
adalah ia tidak dapat ditawar dan hanya sepintas keluarnya dengan atau tanpa
disadari, ini berlaku mutlak. Mutlak disini memiliki arti ia tidak dapat
ditawar melalui pertimbangan-pertimbangan dalam bentuk apapun. Hal itu
disebabkan karena suara hati nurani merupakan suara dari maha mutlak. Tempat
berkumpulnya bagi mereka yang hatinya bersih dan tak bernoda dan tempat
mengingat tuhan itulah hati nurani. Suara hati adalah suara halus yang murni
datang langsung dari kesadaran sang hidup yang ada dalam diri kita yang paling
dalam yang bersih dan jujur, tanpa adanya pertimbangan dalam memberikan
jawaban.
3.2. Saran
Hati Nurani
merupakan salah satu kunci kita untuk menghadapi bagaimana kuatnya arus
globalisasi yang menerjang Indonesia yang juga pasti berakibat kepada dunia
pendidikan kita. Oleh karena itu jika sejak awal kita sudah dibekali oleh
kekuatan hati nurani yang bersih yang sebenarnya memang sudah kita milik sejak
lahir. Maka kita sebenarnya tidak usah takut menghadapi berbagai anacaman yang
datang lewat arus globalisasi tersebut. Yang kita lakukan hanyalah dengan
berkeyakinan teguh denga apa yang kita miliki denga hati nurani sebagai
dasarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens. K. 2011. ETIKA. Jakarta.
Gramedia Pustaka Utama
A.Salim. 2012. Jalan Cinta Para
Pejuang. Yogjakarta. Pro-U Media
http://akhmad-syaifudin27.blogspot.com/
Editor, 2010. Hati Nurani.
http://allamandasyifa.wordpress.com/hati-nurani/
Minglie, K. 2010. Hati Nurani itu,
Apa ya (2)
http://filsafat.kompasiana.com/2012/10/04/hati-nurani-itu-apa-ya-2/
Nashrulloh, A. 2009. Filsafat Hati
Nurani (Bag. 1).
http://filsafatindonesia1001.wordpress.com/2012/10/04/filsafat-hati-nurani-bag-1/
http://erabaru.net/kehidupan/41-cermin-kehidupan/5830-apakah-hati-nurani-itu
http://id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=522:menghidupkan-hati-nurani&catid=14:politik-hukum-dan-ham&Itemid=131
http:/4112-hati-nurani.html
http://www.sabda.org/reformed/hati_nurani_dan_moral
http://www.antara.co.id/view/?i=1174484778&c=ART&s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar