Halaman

Kamis, 10 Oktober 2013

HATI NURANI



"Pada dasarnya hidup ini adalah perbuatan, dan segala perbuatan baik lahir maupun batin adalah kontrol dari hati nurani kita. Makalah ini berjudul “Hati Nurani”  disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah BIOETIKA, lebih jauh lagi agar mahasiswa dapat memahami dan mempelajari isi makalah ini sehingga dalam pengamalannya kita dapat memiliki hati nurani yang baik agar dalam kehidupan sehari-hari kta dapat berperilaku yang baik juga, karena hubungan hati nurani dengan masing-masing sub sangat erat, dimana hati nurani ini adalah sebagai kontrol bagi perilaku kita".

BAB I
PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya hidup ini adalah perbuatan, dan segala perbuatan baik lahir maupun batin adalah kontrol dari hati nurani kita. Makalah ini berjudul “Hati Nurani”  disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah BIOETIKA, lebih jauh lagi agar mahasiswa dapat memahami dan mempelajari isi makalah ini sehingga dalam pengamalannya kita dapat memiliki hati nurani yang baik agar dalam kehidupan sehari-hari kta dapat berperilaku yang baik juga, karena hubungan hati nurani dengan masing-masing sub sangat erat, dimana hati nurani ini adalah sebagai kontrol bagi perilaku kita.

Sebagai suatu pengantar, perilaku adalah sebuah aspek yang akan dinilai oleh orang lain terhadap kita. Oleh karena itu hati nurani sebagai instansi dalam hati kita, perlu diberi pupuk agar menumbuhkan sifat, sikap dan perilaku yang baik juga bagi manusianya. Seperti yang disabdakan Nabi SAW. Dalam sabdanya : “Hamba Allah yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling baik budi pekertinya.” Maka kita harus menjadi manusia yang mempunyai akhlak yang baik agar dicintai Allah dan mahluknya.

Sedikit mengulang tentang ilmu Filsafat dan Bioetika yang sangat erat kaitannya. Filsafat sistematik memiliki tiga cabang utama: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Aksiologi memiliki cabang-cabang, diantaranya adalah: etika. Etika sebagai filsafat mempertanyakan: tentang yang harus atau tidak boleh dilakukan, tentang yang baik dan yang buruk untuk dilakukan. Ada perbedaan antara etika dengan moralitas. Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional tentang nilai, ajaran dan pandangan-pandangan moral. Moralitas adalah ajaran yang berlaku di masyarakat, yang menjadi obyek kajian etika. Sumber moralitas macam-macam, ada yang berasal dari akal, dari agama, dari hukum, dan dari kebiasaan yang dikembangkan. Dan tak lepas pula peran hati nurani; hati nurani ikut serta menentukan wujud dan arah moralitas. Sebab itu hati nurani merupakan salah satu obyek kajian filsafat Etika.

Untuk menghindarkan diri dari perbuatan dosa karena perbuatan buruk maka kita harus mendengarkan hati nurani. Saat terjadi perseteruan isi hati antara hati nurani kita dengan bisikan hati yang mengajak keburukan, maka segera kuatkanlah kesadaran utama kita untuk mengikuti bisikan hati nurani yang jelas-jelas akan membawa kita melakukan hal-hal yang benar. Sebagai contoh, saat kita berpikir untuk berbohong demi menutupi perbuatan buruk kita, maka hati nurani akan membisikkan larangan untuk tidak berbohong.

Saat manusia sudah tidak mau mendengarkan hati nuraninya, niscaya akan selalu melakukan hal yang tidak benar, hanya saja kita tetap bersyukur karena hati nurani kita tidak bosan-bosannya menyertai dan membimbing kita sepanjang hidup kita. Tuntutan nilai-nilai dari hati nurani semakin bergema saat hukum jauh dari nilai-nilai keadilan karena hanya sekedar berperan sebagai teknologi undang-undang yang tidak mampu membawa bangsa dan negara ini ke arah kehidupan yang lebih teratur, tertib, aman dan tenteram. Saat kemaksiatan semakin merajalela, saat ekonomi belum juga mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Karena ia hanya menjadi eksploitasi bisnis demi keuntungan pribadi dan kelompok. Ketika kemiskinan dan kesejahteraan hanya menjadi bahan seminar dan diskusi karena belum mampu melahirkan sikap keberpihakan  pada rakyat yang menderita, maka dapat dikatakan kita belum mampu  benar-benar menggunakan dan mengaplikasikan hati nurani untuk hal-hal yang buruk.

Kenyataannya, walaupun sudah banyak yang menghimbau dan mengajak untuk menghidupkan hati nurani, mulai dari rakyat kecil menghimbau dengan berbagi deritanya, para aktivis dakwah dengan aneka taujih dan tausyiahnya, mahasiswa dengan gerakan moralnya sampai dengan politisi dan presiden, gubernur, ataupun bupati yang menghimbau dengan bahasa pidato yang mugkin sangat indah didengar namun jauh dari kesungguhannya. Realitanya, belum ada perubahan yang segnifikan dalam kehidupan kita. Mungkin masalahnya, ketidaktauan kita tentang apa hati nurani itu sebenarnya. 

1.2. Batasan Masalah


Hati nurani sangat luas kajiannya, maka untuk membatasi pembahasan dalam makalah ini perlu dibuat batasan masalah yaitu:
1. Definisi Hati Nurani
2. Tempat Hati Nurani
3. Fungsi Hati Nurani
4. Macam-Macam Hati Nurani
5. Sumber Kekuatan Hati Nurani
6. Pembinaan Hati Nurani
7. Saat Hati Nurani Berbicara 

1.3. Tujuan 


Tujuan dari makalah ini adalah untuk:
1. Untuk mengetahui definisi hati nurani
2. Untuk mengetahui tempat hati nurani
3. Untuk mengetahui fungsi hati nurani
4. Untuk mengetahui macam-macam hati nurani
5. Untuk mengetahui sumber kekuatan hati nurani
6. Untuk mengetahui bagaimana pembinaan hati nurani
7. Untuk mengetahui kapant hati nurani berbicara 


1.4. Manfaat


    Manfaat dari makalah ini adalah sebagai referensi dan pembelajaran baik bagi penulis maupun pembaca, mengetahui tentang hati nurani, dapat menjaga, membina dan  menggunakan hati nurani sebagai suara ilahi.
 
BAB II

ISI

2.1. Definisi Hati Nurani

Hati nurani dalam bahasa arab di sebut dlamir atau wijdan sedang dalam bahasa inggris di sebut dengan conscience. kata consciece diterjemah balik maka artinya menjadi suara hati, kata hati atau hati nurani. Berdekatan dengan kata conscience, ada kata conscious. Conscious artinya sadar, berkesadaran, atau kesadaran. Disamping kedua kata ini, ada satu lagi yang berdekatan maknanya yaitu intuition, intuition artinya gerak hati, lintasan hati, gerak batin.

Consciece sama dengan Conscience is an ability or a faculty that distinguishes whether one’s actions are right or wrong. It leads to feelings of remorse when one does. Hati nurani adalah kemampuan yang membedakan apakah salah satu dari tindakan apakah benar atau salah. The moral sense of right and wrong, chiefly as it affects one’s own behaviour; Consciousness; thinking; awareness, especially self-awareness. Rasa moral tentang yang benar dan yang salah, terutama karena akan mempengaruhi tingkah laku sendiri; Kesadaran; berpikir; kesadaran, terutama kesadaran diri. Kesadaran juga berarti peran kognitif diri yang memperjelas secara sadar di mana diri kita saat ini dan bagaimana situasi lingkungan kita. Kajian-kajian yang mendalam tentang hal ini dapat kita telusuri lebih jauh terutama di dalam sains psikologi.

Maka Hati nurani adalah suatu kekuatan dalam hati seseorang yang selalu memberikan penilaian benar dan salahnya atau baik dan buruknya atau perbuatan yang akan di lakukan. Hati nurani merupakan penerapan kesadaran moral yang tumbuh dan berkembang dalam hati manusia dalam situasi konkret. Suara hati menilai suatu tindakan manusia benar atau salah , baik atau buruk. Hati nurani tampil sebagai hakim yang baik dan jujur, walaupun dapat keliru. Dalam hati, manusia sebelum bertindak atau melakukan sesuatu , ia sudah mempunyai kesadaran atau pengetahuan umum bahwa ada yang baik dan ada yang buruk. Setiap orang memiliki kesadaran moral tersebut, walaupun kadar kesadarannya berbeda – beda.

Pada saat-saat menjelang suatu tindakan etis, pada saat itu kata hati akan mengatakan perbuatan itu baik atau buruk. Jika perbuatan itu baik, kata hati muncul sebagai suara yang menyuruh dan jikaperbuatan itu buruk, kata hati akan muncul sebagai suara yang melarang. Kata hati yang muncul pada saat ini disebut prakata hati. Pada saat suatu tindakan dijalankan, kata hati masih tetap bekerja, yakni menyuruh atau melarang. Sesudah suatu tindakan, maka kata hati muncul sebagai “hakim” yang memberi vonis. Untuk perbuatan yang baik, kata hati akan memuji, sehingga membuat orang merasa bangga dan bahagia. Namun, jika perbuatan itu buruk atau jahat, maka kata hati akan menyalahkan, sehingga, orang merasa gelisah, malu, putus asa, menyesal.

2.2. Tempat Hati Nurani

Ada beberapa pendapat yang menyatakan letak hati nurani dan tentu saja berdasarkan pengalaman yang dialaminya misalnya :
Amin Syukur (Trainer Menata Hati) menyatakan : bahwa letak hati nurani/sanubari ada di dalam rongga jantung sebenarnya.
Erbe Sentanu (Trainer Quantum Ikhlas) menyatakan bahwa hati adalah jantung.
Wuryanano-Trainer Super Mind menyatakan hati nurani kita itu adalah pikiran baik yang terletak dan tertanam di dalam pikiran bawah sadar kita.
Hadis Rasullah : Di dalam diri manusia ada segumpal daging yang apabila ia baik maka baiklah seluruhnya, jika ia rusak maka rusaklah seluruhnya. Ingatlah bahwa dia itu adalah qalbu (hati). Namun hati di sini mengandung kiasan bukan hati sebenarnya dalam organ tubuh.

Berdasarkan pendapat di atas dan definisi hati nurani yaitu “suatu kekuatan dalam hati seseorang yang selalu memberikan penilaian benar dan salah atau baik dan buruknya atau perbuatan yang akan di lakukan”, maka dapat disimpulkan bahwa hati nurani bukanlah suatu benda namun konkrit peranannya. Hati nurani seperti fatwa, berbicara tanpa suara dan sering menyengat tanpa terlihat. Tapi, ia terasa. Sebab dari sanalah banyak tindakan dan perilaku kita mengambil kiblatnya. Dari sanalah kebaikan dan keburukan kita menapakkan pijakannya berupa niat dan tekad.

Ciri khas dari suara hati nurani adalah ia tidak dapat ditawar dan hanya sepintas keluarnya dengan atau tanpa disadari, ini berlaku mutlak. Mutlak di sini mempunyai arti ia tidak dapat ditawar melalui pertimbangan-pertimbangan dalam bentuk apapun. Hal itu disebkan karena suara hati nurani merupakan suara dari Maha Mutlak.

2.3. Fungsi Hati Nurani

Fungsi hati nurani adalah sebagai pegangan, pedoman atau norma untuk menilai suatu tindakan, apakah tindakan itu baik atau buruk. Hati nurani  berfungsi sebagai pegangan atau peraturan-peraturan konkret di dalam kehidupan sehari-hari dan menyadarkan manusia akan nilai dan harga dirinya. Sikap kita terhadap hati nurani adalah menghormati setiap suara hati yang keluar dari hati nurani kita. Mendengarkan dengan cermat dan teliti setiap bisikan hati nurani. Mempertimbangkan secara masak dan dengan pikiran sehat apa yang dikatakan hati nurani dan melaksanakan apa yang disuruh hati nurani.

2.4. Macam-Macam Hati Nurani

Dapat di bedakan menjadi dua yaitu hati nurani retrospektif dan prospektif
a.      Hati nurani retrospektif

Yaitu hati nurani yang memberikan penilaian perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau, hati nurani dalam arti retrospektif menuduh atau mencela bila perbuatanya jelek dan menuju atau memberi rasa puas, bila perbuatanya di anggap baik . jadi hati nurani ini merupakan semacam instansi ke hakiman dalam batin kita tentang perbuatan yang telah berlangsung.

b.      Hati nurani prospektif

Yaitu hati nurani yang melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu atau  -seperti barang kali lebih banyak terjadi-  mengatakan  “jangan” dan melarang untuk melakukan sesuatu . Dalam hati nurani ini sebenarnya terkadang semacam ramalan ia mengatakan, hati nurani pasti akan menghukum kita, andai kata kita melakukan perbuatan itu. Dalam arti ini hati nurani prospektif menunjuk kepada hati nurani retrospektif yang akan  datang , jika perbuatan menjadi kenyataan

Hati nurani bersifat personal  dan adi personal

Berdasarkan sifatnya, hati nurani dibedakan menjadi hati nurani bersifat personal dan hati nurani bersifat adi personal.

a.       Bersifat personal

Artinya, selalu berkaitan erat dengan pribadi bersangkutan. Norma-norma dan cita yang saya terima dalam hidup sehari-hari dan seolah-olah melekat pada pribadi saya, akan tampak juga dalam ucapan-ucapan hati nurani saya. Seperti kita katakan bahwa tidak ada dua manusia yang sama, begitu pula tidak ada hati nurani yang bersifat sama.

Ada alasan lain lagi untuk mengatakan bahwa hati nurani bersifat personal yaitu hati nurani hanya memberi penilaianya tentang perbuatan saya sendiri, maksudnya hati nurani tidak memberikan penilaianya tentang perbuatan orang lain. Saya hanya memperhatikan norma-norma dan cita-cita yang juga di ikuti hati nurani saya.

b.      Bersifat Adi personal

Selain bersifat pribadi hati nurani juga seolah-olah melebihi pribadi kita, seolah-olah merupakan instansi di atas kita. Aspek “hati nurani”berarti hati yang diterangi (nur cahaya) .hati nurani seolah-olah ada cahaya dari sinar yang menerangi budi dan hati kita. Aspek yang sama tampak juga dalam nama-nama lain untuk menunjukan hati nurani suara hati,kata hati,suara batin. Aspek ini sangat mengesankan hingga terungkap banyak nama,tarhadap hati nurani ,kita seakan - akan menjadi “pendengar” kita seakan-akan membuka diri terhadap suara yang datang dari luar. Hati nurani mempunyai satu aspek teransenden artinya melebihi  pribadi kita. Aspek adi personal, orang beragama kerap kali mengatakan bahwa hati nurani adalah suara tuhan atau bahwa tuhan berbicara melalui hati nurani, sehingga bagi orang beragama hati nurani memiliki suatu dimensi religious.

2.6.  Pembinaan Hati Nurani

Dengan hati nurani yang baik dan benar, seseorang akan selalu terdorong untuk bertindak melakukan kehendak Tuhan dan menuruti norma-norma moral obyektif. Pembinaan hati nurani tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan seseorang tentang kebenaran dan nilai-nilai, ataupun kemampuan untuk memecahkan dilema moral, tetapi juga harus memasukkan ke dalamnya pembinaan karakter moral seseorang secara lebih penuh. Pembinaan hati nurani merupakan upaya yang hakiki agar manusia lebih mampu hidup dan bertindak sesuai dengan bisikan hati hati nurani yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral. Melalui pembinaan hati nurani, manusia diharapkan bisa terhindar dari kesesatan dalam pengambilan keputusan dan tindakan. Dengan begitu, perbedaan ataupun keragaman tidak menjadi permasalahan yang dapat memicu konflik.

Dalam hadis diungkapkan ”Sesungguh-nya Allah tidak memandang bentuk dan tubuhmu, tetapi Dia memperhatikan hati dan perbuatanmu.” (HR Muslim). Allah hanya memperhatikan hati, karena hati itulah yang menjadi hakikat manusia. Karakter seseorang berbeda dengan yang lain karena hatinya berbeda. Perbedaan itu pula yang menyebabkan perbedaan dalam cara Allah memperlakukan sang hamba itu sendiri.

Sebagai contoh, seseorang dengan hati nurani, melihat ada orang lain yang patut ditolong pasti akan ditolongnya tanpa menghiraukan apa jenis warna kulitnya dari bangsa atau kelompok mana yang ditolong itu berasal. Dengan hati nurani juga manusia bisa berbuat baik untuk seluruh mahluk yang ada di alam ini dengan memberi perlindungan secara maksimal dengan menjaga keseimbangannya. Inilah manusia yang dapat memberi rahmat atas alam ini, pembawa damai dan toleransi.

2.6.  Beberapa Masalah Tentang Hati Nurani

1.    Hati Nurani Termasuk Perasaan, Kehendak atau Rasio?

Dalam sejarah filsafat sering dipersoalkan apakah hati nurani termasuk perasaan, kehendak atau rasio. Sekarang kita sudah mnenyadari bahwa persoalannya sebetulnya tidak boleh dirumuskan dengan cara begitu. Dalam filsafat dewasa ini sudah terbentuk keyakinan bahwa manusia tidak bisa dipisahkan ke dalam pelbagai fungsi atau daya. Kita harus bertolak dari kesatuan manusia, di mana pelbagai fungsi dapat dibedakan tapi tidak boleh dipisahkan. Dalam hati nurani pula memainkan peranan baik perasaan mau pun kehendak maupun juga rasio. Tapi terdapat suatu tendensi kuat dalam filsafat untuk mengakui bahwa hati nurani secara khusus harus dikaitkan dengan rasio. Kami juga berpendapat demikian. Alasannya, karena hati nurani memberi suatu penilaian, artinya, suatu putusan (judgement). Ia menegaskan : ini baik dan harus dilakukan atau itu buruk dan tidak boleh dilakukan. Mengemukakan putusan jelas merupakan suatu fungsi dari rasio. Tapi dalam hal ini perlu dibedakan antara dua macam rasio : rasio teoretis dan rasio praktis. Rasio teoretis memberi jawaban atas pertanyaan : apa yang dapat saya ketahui? Atau juga : bagaimana pengetahuan saya dapat diperluas? Dengan demikian rasio dalam arti ini merupakan sumber pengetahuan, termasuk juga ilmu pengetahuan. Sedangkan rasio praktis terarah pada tingkah laku manusia. Rasio praktis memberi jawaban atas pertanyaan : apa yang harus saya lakukan? Dengan itu rasio praktis memberi penyuluhan bagi perbuatan-perbuatan kita. Kalau rasio teoretis bersifat abstrak, maka rasio praktis justru bersifat konkret. Jati nurani juga sangat konkret sifatnya dan mengatakan kepada kita apa yang harus dilakukan kini dan di sini. Putusan hati nurani “mengkonkretkan” pengetahuan etis kita yang umum. Pengetahuan etis kita (prinsip-prinsip moral yang kita pegang dan nilai-nilai yang kita akui) hampir tidak pernah siap pakai dalam keadaan konkret. Hati nurani seolah-olah merupakan jembatan yang menghubungkan pengetahuan etis kita yang umum dengan perilaku konkret.

Biarpun putusan hati nurani bersifat rasional, itu tidak berarti bahwa ia mengemukakan suatu penalaran logis (reasoning). Ucapan hati nurani pada umumnya bersifat intuituf, artinya langsung menyatakan : ini baik dan terpuji atau itu buruk dan tercela. Pemikiran intuituf berlangsung “bagaikan tembakan” : langsung , satu kali tembak, tidak menurut tahap-tahap perkembangan seperti dalam sebuah argumentasi. Namun demikian, kadang-kadang putusan hari nurani bisa memiliki sifat-sifat yang mengingatkan kita pada suatu argumentasi, terutama hati nurani prospektif. Dalam contoh ketika Arjuna seolah-olah membentuk suatu penalaran. Ia mulai dengan mempertimbangkan prinsip umum bahwa membunuh kerabat dan orang yang dekat dengannya tidak boleh. Lantas ia melihat situasi yang dihadapinya : ia harus bertempur melawan sanak saudara dan bekas guru-gurunya yang sangat berjasa baginya. Dan akhirnya ia sampai pada kesimpulan : “saya tidak akan berperang”. Tapi sebetulnya kesimpulan itu sendiri bersifat intuituf juga, walaupun sudah dipersiapkan sebelumnya.

2.    Hati Nurani sebagai Hak

Mengikuti hati nurani merupakan suatu hak dasar bagi setiap manusia. Tidak ada orang lain yang berwenang untuk campur tangan dalam putusan hati nurani seseorang. Tidak boleh terjadi, seorang dipaksa untuk bertindak bertentangan dengan hati nuraninya. Maka tidak mengherankan, bila dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948) disebut juga “hak atas kebebasan hati nurani” (Pasal 18). Konsekuensinya bahwa negara harus menghormati putusan hati nurani para warganya, bahkan kalau kewajiban itu menimbulkan konflik dengan kepentingan lain. Dengan kata lain, negara harus menghormati hak dari conscientious objector : orang yang berkeberatan memenuhi suatu kewajiban sebagai warga negara karena alasan hati nurani. Contoh terkenal adalah konflik yang sering dialami di negara-negara yang mempraktikkan wajib militer. Di sana tidak jarang ada orang muda yang menolak untuk memenuhi wajib militer dengan alasan hati nurani. Misalnya, mereka menandaskan bahwa suara hati nurani melarang mereka ikut serta dalam latihan-latihan militer yang bertujuan membunuh sesama manusia. Dalam kasus semacam itu negara menghadapi dilema yang tidak mudah: menjalankan tugas-tugas pertahanan nasional dengan baik atau menghormati hati nurani para warga negara. Dulu orang seperti itu diadili dan divonis beberapa tahun di penjara. Dengan demikian kepentingan nasional mengalahkan hak pribadi. Filsuf dan pengarang besar dari Inggris, Bertrand Russell (1872 – 1970), di masa mudanya masih sempat menjadi korban dari konflik kepentingan serupa itu. Ketika pada saat Perang Dunia I a memprogandakan pasifisme dan menolak masuk dinas militer Inggris, ia dipecat sebagai dosen Universitas Cambridge dan dipenjarakan beberapa bulan. Tapi sekarang kebanyakan negara modern mengakui hak orang muda untuk menolak masuk tentara karena alasan hati nurani. Hanya saja, mereka diwajibkan mengikuti suatu masa pengabdian alternatif, misalnya, suatu tugas sosial, yang tentu waktunya lebih lama dan imbalan finansialnya kurang, dibandingkan dengan dinas militer. Alternatif itu harus kurang menarik secara objektif untuk mencegah terlalu banyak orang akan menolak wajib militer dengan dalih hati nurani. Bila orang memilih alternatif ini – membuktikan ia mengikuti hati nuraninya dengan ikhlas dan tidak mencari alasan yang dibuat-buat.

3.    Hati Nurani adalah Norma Moral Terakhir

Dari semuanya ini dapat disimpulkan bahwa hati nurani mempunyai kedudukan kuat dalam hidup moral kita. Malah bisa dikatakan : dipandang dari sudut subjek, hati nurani adalah norma terakhir untuk perbuatan kita. Kita selalu wajib mengikuti hati nurani dan tidak pernah boleh kita lakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Dalam arti itu hati nurani mengikat kita secara mutlak. Namun, harus berlangsung ditambahkan, putusan hati nurani yang merupakan norma moral terakhir bersifat subjektif dan belum tentu perbuatan yang dilakukan atas desakan hati nurani adalah baik juga secara objektif. Hati nurani bisa keliru. Bisa saja hati nurani menyatakan sesuatu adalah baik, bahkan wajib dilakukan, padahal secara objektif perbuatan itu buruk. Sepanjang sejarah, banyak pembunuhan dan penganiayaan dilakukan orang fanatik atau

Dalam kehidupan moral pribadi peranan hati nurani sangat penting. Manusia adalah orang yang hidup baik (secara moral) bila ia selalu hidup menurut hati nuraninya. Namun, bukan sembarang hati nurani patut membimbing hidup moral kita, tapi hanya hati nurani yang dididik dengan baik. Manusia bukan saja wajib untuk selalu mengikuti hati nuraninya, ia wajib juga mengembangkan hati nurani dan seluruh kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang. Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan subjektif dari hati nurani akan sesuai dengan kualitas moral objektif dari perbuatannya. Pada orang serupa itu, yang baik secara subjektif akan sama dengan yang baik secara objektif. Karena itu perlu kita pelajari lagi cara bagaimana keadaan ideal itu bisa dicapai.

4. Hati Nurani dan Superego

Sering kali hati nurani dikaitkan dengan “Superego”, bahkan tidak jarang kedua hal itu disamakan begitu saja. Karena itu tidak ada salahnya, jika disini kita mempelajari juga “Superego”, walaupun dengan demikian kita sebenarnya meninggalkan pokok pembicaraan etika dan memasuki wilayah psikologi. Pada dasarnya pasal ini (dan dua pasal berikutnya) termasuk apa yang sebelumnya disebut etika deskriptif dan bukan etika normatif dalam arti sesungguhnya. Istilah “superego” berasal dari Sigmund Freud (1856 – 1939), dokter ahli saraf Austria yang meletakkan dasar untuk psikoanalisis. Ia mengemukakan istilah itu dalam rangka teorinya tentang struktur kepribadian manusia. Atau lebih tepat lagi, bila dikatakan bahwa ini teorinya yang kedua tentang struktur kepribadian, yang sejak tahun 1923 (artinya, sejak bukunya The Ego and The Id) menggantikan padangannya yang terdahulu. Kendati bertubi-tubi terkena kritikan, serangan dan penolakan, namun minat untuk psikoanalisis Freud bertahan terus dan rasanya untuk seterusnya pun tidak akan hilang. Pada tahun 2000, pada kesempatan pergantian abad, majalah Amerika Times mengeluarkan sebuah nomor khusus tentang 100 tokoh paling penting dalam abad ke – 20 dan Freud dimasukkan didalamnya, meskipun diakui juga bahwa ia masih tetap figur yang kontroversial dan untuk masa depan tidak bias diharapkan hal itu akan berubah.

Tubuh kita mempunyai struktur tertentu : ada kepala, kaki, lengan dan batang tubuh. Psike kita juga mempunyai struktur, walaupun tentu tidak terdiri dari bagian-bagian dalam ruang. Struktur psikis manusia menurut Freud meliputi tiga instansi atau tiga sistem yang berbeda-beda. Sebagaimana akan dijelaskan lagi, sistem-sistem ini memegang peranan sendiri-sendiri dan kesehatan psikis seseorang sebagian terbesar tergantung dari keharmonisan kerja sama diantaranyta. Ketiga instansi ini masing-masing adalah Id, Ego, Superego.

Superego itu berhubungan erat dengan apa yang kita sebut dalam etika dengan nama “hati nurani”. Tapi supaya hubungan itu dapat dimengerti, perlu lebih dulu dijelaskan tentang ketiga instansi itu, satu demi satu.

a.    Id

Freud pernah mengatakan bahwa hidup psikis kita ibarat gunung es yang terapung-apung di laut. Hanya puncaknya tampak diatas permukaan air, tapi sebagian terbesar gunung es situ tidak kelihatan, karena terpendam air laut. Hidup psikis manusia juga untuk sebagian terbesar tidak tampak atau – lebih tepat – tidak sadar, namun tetap merupakan kenyataan yang harus diperhitungkan. Itu berarti, apa yang dilakukan oleh manusia – khususnya yang diinginkan, dicita-citakan, dikehendaki – untuk sebagian besar tidak disadari oleh manusia itu sendiri! Freud mengintroduksikan kedalam psikologi paham “ketidaksadaran dinamis”, artinya, ketaksadaran yang mengerjakan sesuatu dan tidak tinggal diam. Dengan itu ia mengadakan semacam revolusi dalam pandangan tentang manusia. Pada permulaan psikologi modern hidup psikis disamakan begitu saja dengan kesadaran. Hal itu diwarisi oleh psikologi dari filsuf Prancis Rene Descartes (1596 – 1650) yang dijuluki “bapak filsafat modern” dan menjalankan pengaruh besar atas psikologi, ketika mulai berkembang sebagai suatu ilmu tersendiri. Bagi Descartes, kegiatan psikis yang tak sadar merupakan suatu kontradiksi, karena hidup psikis sama saja dengan kesadaran. Sejak Freud kita tahu bahwa ada juga aktivitas-aktivitas psikis yang tidak disadari oleh subjek bersangkutan sendiri.

Freud memakai istilah “Id” untuk menunjukkan ketaksadaran itu. Id adalah lapisan yang paling fundamental dalam susunan psikis seorang manusia. Id meliputi segala sesuatu yang bersifat impersonal atau anonim, tidak sengaja atau tidak disadari, dalam daya-daya mendasar yang menguasai kehidupan psikis manusia.

Justru karena itu Freud memilih istilah “Id” (atau bahasa aslinya “Es”) yang merupakan kata ganti orang neutrum. Tentang Id berlaku : bukan aku (=subjek) yang melakukan, melainkan ada yang melakukan dalam diri aku. Bagi Freud, adanya Id telah terbukti terutama dengan tiga cara. Pertama, faktor psikis yang paling jelas membuktikan adanya Id adalah mimpi. Buku yang pertama di bidang psikoanalisis justru membahas mimpi (Penafsiran mimpi, 1900). Tentang mimpi berlaku bahwa “bukan sayalah yang bermimpi tapi ada yang bermimpi dalam diri saya”. Bila bermimpi, si pemimpi seolah-olah hanya merupakan penonton pasif. Tontonan itu disajikan kepadanya oleh ketaksadaran. Kedua, adanya Id terbukti juga, jika kita mempelajari perbuatan-perbuatan yang pada pandangan pertama rupanya remeh saja dan tidak punya arti, seperti perbuatan keliru, salah ucap, “keseleo lidah”, lupa dan sebagainya. Menurut pendapat Freud, perbuatan-perbuatan seperti itu tidak kebetulan, tetapi berasal dari kegiatan psikis yang tak sadar. Misalnya, ketua DPR Austria pernah membuka siding parlemen dengan mengetok palunya sambil berkata : “Dengan ini siding saya tutup”. Maksudnya “buka”, tapi yang dikatakannya “tutup”. Mengapa begitu? Karena bagi sang ketua, siding hari itu terasa sangat berat. Ia ingin sekali agar siding itu cepat selesai. Keinginan yang sadar itu mengakibatkan dia keseleo lidah. Atau contoh dari seorang murid Freud yang lupa mengeposkan sepucuk surat. Jika ia berefleksi tentang kejadian itu ia sampai pada kesimpulan bahwa ia “lupa” mengeposkan suratnya, karena isinya tentang sesuatu yang amat berat baginya. Secara tak sadar ia tidak mau mengirim surat itu dan karenanya ia sampai “lupa”. Freud memperlihatkan bahwa perbuatan-perbuatan semacam itu berasal dari ketaksadaran dalam bukunya Psikopatologi tentang hidup sehari-hari (1901). Ketiga, alasan paling penting bagi Freud untuk menerima adanya ketaksadaran adalah pengalamannya dengan pasien-pasien yang menderita neurosis. Penyakit neurosis merupakan teka-teki medis yang besar bagi kalangan kedokteran pada waktu itu. Dari segi fisiologis pasien-pasien itu tidak mengidap kelainan apa-apa, namun pada kenyataannya mereka mempunyai bermacam-macam gejala aneh, seperti tangan lumpuh, untuk beberapa waktu mata buta, dan sebagainya. Freud menemukan bahwa neurosis disebabkan oleh faktor-faktor tak sadar. Misalnya, wanita muda berumur 21 tahun yang menderita histeria (histeria merupakan salah satu contoh neurosis) dan selama beberapa waktu tidak bias minum, hingga terpaksa menghilangkan rasa hausnya dengan makan buah-buahan. “Keadaan ini berlangsung selama kira-kira enam minggu, sampai pada suatu hari dalam hipnosis ia menggumam tentang guru pribadinya, seoarang wanita berkebangsaan Inggris yang tidak disukainya. Dan sambil menyatakan rasa muaknya, dilukiskannya bagaimana pada suatu hari ia masuk kamar wanita ini dan melihat di situ anjing kecilnya – binatang yang menjijikkan! – minum dari sebuah gelas. Pasian tidak berkata apa-apa, karena ia mau berlaku sopan. Setelah dengan hebat ia mengeluarkan kemarahannya yang sudah begitu lama disimpan dalam hati, ia minta minuman, lalu minum banyak sekali air tanpa kesulitan apa-apa dan bangun dari hipnosis dengan gelas pada bibirnya. Sesudah itu gangguan tersebut hilang sama sekali dan tidak kembali lagi. Freud menemukan bahwa pasien neurotis bias sembuh dengan menggali kembali trauma psikis yang terpendam dalam ketaksadarannya.

Jika dengan Id dimaksudkan ketaksadaran, maka Id itu secara konkret terdiri dari apa? Apakah isinya? Id terdiri dari naluri-naluri bawaan, khususnya naluri-naluri seksual (ingat, misalnya, akan teori Freud tentang Kompleks Oedipus) serta agresif, lagi pula keinginan-keinginan yang direpsesi. Pada awal mula, hidup psikis manusia terdiri dari Id saja. Pada janin dalam kandungan ibunya dan pada bayi yang baru lahir, hidup psikis untuk seratus persen sama dengan Id. Id itu hampir tanpa struktur apapun dan secara menyeluruh dalam keadaan kacau balau. Namun demikian, Id itulah yang menjadi bahan dasar bagi perkembangan psikis lebih lanjut. Pada mulanya Id sama sekali tidak terpengaruh oleh kontrol pihak subjek. Id hanya melakukan apa yang disukai. Kata Freud : Id dipimpin oleh “prinsip kesenangan” (the pleasure principle). Dalam Id tidak dikenal urutan menurut waktu; sebetulnya Id sama sekali tidak mengenal waktu (timeless). Hukum-hukum logika pun tidak berlaku untuknya. Dalam mimpi sering kali kita melihat hal-hal yang sama sekali tidak logis. Dan hal yang sama dapat dikatakan tentang gejala-gejala neurotis. Walaupun faktor-faktor tak sadar memainkan peranan besar dalam neurosis, perlu ditekankan bahwa Id atau ketaksadaran merupakan suatu kenyataan psikologis yang normal dan universal. Hidup psikis setiap manusia didasarkan atas Id itu.

b.    Ego

Ego atau Aku mulai mekar dari Id melalui kontaknya dengan dunia luar, khususnya dengan orang yang dekat dengannya seperti orang tua dan pengasuh. Aktivitas Ego bias sadar, prasadar mau pun tidak sadar. Tapi untuk sebagian besar Ego bersifat sadar. Sebagai contoh aktivitas sadar boleh disebut : persepsi lahiriah (saya melihat pohon di situ), persepsi batiniah (saya merasa sedih) dan proses-proses intelektual. Sebagai contoh tentang aktivitas prasadar dapat dikemukakan fungsi ingatan (saya mengingat kembali nama yang tadinya saya lupa). Dan aktivitas tak sadar dijalankan oleh Ego melalui mekanisme-mekanisme pertahanan (defence mechanisms), misalnya, orang yang dalam hati kecilnya sangat takut pada kenyataannya berlagak gagah berani. 
Ego dikuasai oleh “prinsip realitas” (the realitiy principle), kata Freud, sebagaimana tampak dalam pemikiran yang objektif, yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan sosial, yang bersifat rasional dan mengungkapkan diri melalui bahasa. Jadi, prinsip kesenangan dari Id di sini diganti dengan prinsip realitas. Adalah tuga Ego (bukan Id dan naluri-naluri) untuk mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan alam sekitar, lagi pula untuk memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik dengan keinginan-keinginan yang tidak cocok satu sama lain. Ego juga mengontrol apa yang mau masuk kesadaran dan apa yang dikerjakan. Akhirnya, Ego menjamin kesatuan kepribadian atau – dengan kata lain – mengadakan sintesis psikis.

c.    Superego

Superego adalah instansi terakhir yang ditemukan Freud. Lama-kelamaan ia yakin bahwa di samping Id dan Ego masih harus diterima suatu instansi lain yang seolah-olah bertempat diatas Ego (dan karena itu namanya : Superego), sebab bersikap kritis terhadapnya, bahkan bisa sampai menghantam. Mari kita mendengarkan suatu keterangan yang diberikan oleh Freud sendiri. “Sepanjang proses terbentuknya teori analitis, mau tidak mau harus kami akui adanya instansi lain, yang telah melepaskan diri dari Ego. Kami menyebutnya “Superego”. Superego ini mempunyai tempat khusus di antara Ego dan Id. Superego itu termasuk Ego, dan seperti Ego ia mempunyai susunan psikologis lebih kompleks, tetapi ia juga mempunyai kaitan sangat erat dengan Id…. Superego dapat menempatkan diri di hadapan Ego serta memperlakukannya sebagai objek dan caranya kerap kali sangat keras. Bagi Ego sama penting mempunyai hubungan baik dengan Superego seperti dengan Id. Ketidakcocokan antara Ego dan Superego mempunyai konsekuensi besar bagi hidup psikis. Barangkali Anda sudah menerka bahwa Superego ini merupakan dasar bagi fenomena yang kita sebut “hati nurani”. Boleh ditambahkan lagi, superego itu secara khusus berkaitan dengan aspek suprapersonal dari hati nurani. 

Superego adalah instansi yang melepaskan diri dari Ego dalam bentuk observasi-diri, kritik-diri, larangan dan tindakan refleksi lainnya, pokoknya, tindakan terhadap dirinya sendiri. Superego dibentuk selama masa anak melalui jalan internalisasi (pembatinan) dari faktor-faktor represif yang dialami subjek sepanjang perkembangannya. Faktor-faktor yang pernah tampil sebagai “asing” bagi si subjek, kemudian diterima olehnya dan dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari dirinya sendiri. Larangan, perintah, anjuran, cita-cita dan sebagainya, yang berasal dari luar (para pengasuh, khususnya orang tua), diterima sepenuhnya oleh si subjek, sehingga akhirnya terpancar dari dalam. “Engkau tidak boleh mencuri” (larangan dari orang tua) akhirnya menjadi “Aku harus mengembalikan barang milik orang lain”. “Anak putri tidak boleh memanjat pohon” (teguran dari kakak) menjadi “Saya tidak boleh memanjat pohon, karena hal itu tidak patut untuk anak perempuan”.

Boleh dicatat lagi, internalisasi ini adalah kebalikannya dari proses psikologis yang disebut “proyeksi”. Dalam proyeksi, keadaan batin manusia diterapkan pada dunia luar. Misalnya, seorang yang berwatak penakut di mana saja akan melihat bahaya. Bila berjalan di tempat gelap pada malam hari ia akan melihat hantu. Yang dianggap “hantu” itu tidak lain daripada keadaan batinnya yang diproyeksi ke luar. Atau contoh lain : penyair bias melukiskan alam dengan menerapkan rasa batinnya padanya, sambil mengatakan – misalnya – bahwa hutan bergembira ria. Dalam internalisasi, sebaliknya, keadaan di luar manusia dimasukkan ke dalam batinnya. 

Aktivitas Superego menyatakan diri dalam konflik dengan Ego, yang dirasakan dalam emosi-emosi seperti rasa bersalah, rasa menyesal, rasa malu, dan sebagainya. Perasaan-perasaan itu tentu dapat dianggap normal. Tapi bias terjadi juga bahwa orang sungguh-sungguh disiksa oleh Superego, sehingga hidup normal bagi dia sudah tidak mungkin lagi. Dan perhatian Freud diarahkan ke Superego, terutama karena pengalamannya dengan kasus-kasus seperti itu. Nanti kita bahas lagi hal ini secara lebih mendalam.

 
2.7. Saat Hati Nurani Berbicara
 
Hati nurani harus dikenal, dididik, diarahkan, dan didewasakan dengan wahyu, akal dan budaya. Setiap kita punya hati, dan di dalamnya nurani kita terus bergeletar menyuarakan pesan Ilahi. Permasalahannya kemudia adalah bisa tidaknya pesan nurani itu bergerak keluar menembus dinding hati lalu terdengar bergerincing. Seringkali ia hanya bisik. Tak jelas. Atau bahkan terbungkam. Itu karena karat-karat dosa menjerujinya. Kemudian, setiap suara hati hanya mampu menggetarkan jeruji-jeruji itu. Hingga sering kali kita mengira suatu bisikan sebagai suara hati, padahal itu adalah geretak jeruji dosa dan palang-palang nafsu. Nurani yang berbisik, menyakiti hawa nafsu yang mengukungnya. Lalu hawa nafsu itu berteriak nyaring. Dan dialah yang kita dengar.
Setiap kemaksiattan yang kita lakukan menjadi noktah dosa yang menghitamkan hati. Awalnya, nurani kita selalu mengirimkan tanda bahwa ia tresakiti. Tapi ketika hawa nafsu diperturutkan, dan maksiat terus dilakukan, diulang dan diulang, noktah-noktah dosa telah menjadi jeruji, membelenggu nurani hingga suaranya makin lirih.

Setiap manusia mempunyai pengalaman tentang hati nurani dan mungkin pengalaman itu merupakan perjumpaan paling jelas dengan moralitas sebagai kenyataan. Sulit untuk menunjukkan pengalaman lain yang dengan begitu terus terang menyingkapkan dimensi etis dalam hidup kita. Karena itu pengalaman tentang hati nurani itu merupakan jalan masuk yang tepat untuk suatu studi mengenai etika. Dalam suatu pendekatan naratif kita mulai dengan memandang tiga contoh yang berbeda tentang pengalaman hati nurani yang dipilih dengan cara demikian, sehingga dapat dipakai dalam analisis selanjutnya. Mudah-mudahan contoh-contoh ini sesuai dengan pengalaman pribadi kita tentang hati nurani.

a.    Ka’b ibn Malik yang dikucilkan selama lima puluh hari oleh Nabi dan sahabat karena jujur dengan kesalahannya.

b.    Seorang hakim telah menjatuhkan vonis dalam suatu perkara pengadilan yang penting. Malam sebelumnya ia didatangi oleh wakil dari pihak terdakwa. Orang itu menawarkan sejumlah besar uang, bila si hakim bersedia memenangkan pihaknya. Hakim yakin bahwa terdakwa itu bersalah. Bahan bukti yang telah dikumpulkan dengan jelas menunjukkan hal itu. Tapi ia tergiur oleh uang begitu banyak, sehingga tidak bisa lain daripada penerima penawaran itu. Ia telah memutuskan terdakwa tidak bersalah dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum. Kejadian ini sangat menguntungkan untuk dia. Sekarang ia sanggup menyekolahkan anaknya ke luar negeri dan membeli rumah yang sudah lama diidamkan oleh istrinya. Namun demikian, ia tidak bahagia. Dalam batinnya ia merasa gelisah. Ia seolah-olah “malu” terhadap dirinya sendiri. Bukan karena ia takut kejadian itu akan diketahui oleh atasannya. Selain anggota keluarga terdekat tidak ada yang tahu. Prosedurnya begitu hati-hati dan teliti, sehingga kasus suap itu tidak akan pernah diketahui oleh orang lain. Namun, kepastian ini tidak bisa menghilangkan kegelisahannya. Baru kali ini ia menyerah terhadap godaan semacam itu. Sampai sekarang ia selalu setia pada sumpahnya ketika dilantik dalam jabatan yang luhur ini.

c.    Thomas Grissom adalah seorang ahli fisika berkebangsaan Amerika Serikat. Selama hampir 15 tahun ia bekerja penuh semangat dalam usaha pengembangan dan pembangunan generator neutron. Sedemikian besar semangatnya, sehingga ia hampir-hampir lupa akan tujuan benda-benda yang dibuatnya itu, yaitu menggalakkan dan menghasilkan senjata-senjata nuklir. Lama-kelamaan hati nuraninya mulai merasa terganggu, khususnya setelah ia membaca dalam karya sejarahwan tersohor, Arnold Toynbee, berjudul A Study of History, kalimat berikut ini: “Bila orang mempersiapkan perang, sudah ada perang”. Baru pada saat itu ia menyadari, ia sedang memberikan bantuannya kepada suatu perang nuklir yang mampu memusnahkan sebagian besar permukaan bumi. Padahal, seluruh kepribadiannya memberontak terhadap kemungkinan terjadinya hal serupa itu. Ia membicarakan kegelisahan batinnya dengan istri. Ia mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi finansial, bila ia berhenti bekerja di Laboratorium Nasional Amerika. Tentu ia menyadari juga, bila ia keluar, tempatnya akan diisi oleh orang lain yang akan melanjutkan pekerjaannya, sehingga tindakan protesnya tidak efektif sama sekali. Bagaimanapun, Grissom memutuskan ia tidak bisa bekerja lagi untuk industri persenjataan nuklir. Ia menjadi dosen pada Evergreen State College di Olympia, Washington. Gajinya hanya kira-kira separuh dari 75.000 dolar yang diperolehnya di laboratorium Nasional.

d.    Pada awal Bhagavad Gita kita menemukan suatu contoh bagus tentang konflik batin yang berlangsung dalam hati nurani. Dalam sebuah kereta berkuda Arjuna menuju ke tempat pertempuran bersama Khrisna yang bertindak sebagai saisnya. Tapi setibanya di tempat tujuan ia melihat sanak saudara, guru-guru dan sahabat-sahabat di antara tentara yang menjadi lawannya. Melihat keadaan itu, “rasa sedih dan putus asa memenuhi hatinya”. Ia tidak tega berperang melawan kerabat dan orang yang akrab dengannya. “Saya tidak mau membunuh mereka, sekalipun saya sendiri akan dibunuh”. Busur saktinya terjatuh dari tangannya dan ia sendiri rebah dalam kereta, hatinya dilimpahi keputusan dan kesedihan. Usaha Khrisna untuk membesarkan hatinya tidak sedikitpun dapat mengubah sikapnya. “Setelah mereka mati, masakan kita ingin hidup lagi?”. Dan dengan tegas ia putuskan: “Saya tidak akan berperang, Khrisna”.

2.9.  Kesadaran hati nurani

Apa itu hati nurani? Secara sangat umum dapat dikatakan, hati nurani adalah “instansi” dalam diri kita yang menilai tentang moralitas perbuatan-perbuatan kita, secara langsung, kini, dan di sini. Dengan “kata nurani” kita maksudkan penghayatan tentang baik atau buruk berhubungan dengan tingkah laku konkret kita. Hati nurani ini memerintahkan atau memelarang kita untuk melakukan sesuatu kini dan di sini. Ia tidak berbicara tentang yang umum, melainkan tentang situasi yang sangat konkret. Tidak mengikuti hati nurani ini berarti menghancurkan integritas pribadi kita dan mengkhianati martabat terdalam kita.

    Dapat dikatakan juga, hati nurani adalah kesadaran moral yang membuat kita menyadari baik atau buruk (secara moral) dalam perilaku kita dan karena itu dapat menyuluhi dan membimbing perbuatan-perbuatan kita di bidang moral. Dengan demikian hati nurani berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai kesadaran. Untuk mengerti hal ini perlu kita bedakan antara pengenalan dan kesadaran. Kita mengenal, bila kita melihat, mendengar atau merasa sesuatu. Tapi pengenalan ini tidak merupakan monopoli manusia. Seekor binatang pun bisa mendengar bunyi atau mencium bau busuk dan karena itu bisa mengenal. Malah ada binatang yang dalam hal pengenalan indrawi lebih unggul daripada manusia. Tapi hanya manusia mempunyai kesadaran. Dengan kesadaran kita maksudkan kesanggupan manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang dirinya. Manusia bukan saja melihat pohon di kejauhan sana, tetapi ia menyadari juga bahwa dialah yang melihatnya. 

Di kebun binatang pernah terdengar seorang anak kecil, berumur sekitar empat tahun, bertanya kepada ibunya :”Mami, apakah gajah itu tahu bahwa dia seekor gajah?” tanpa disadarinya, dengan itu ia mengemukakan suatu pertanyaan filosofis yang amat mendalam artinya. Kepada filsuf cilik ini harus dijawab: gajah tidak tahu. Seekor binatang tidak berfikir atau berefleksi tentang dirinya sendiri. Hanya manusia mempunyai kesadaran. Dalam diri manusia bisa berlangsung semacam “penggandaan”: ia bisa kembali kepada dirinya. Ia bisa mengambil dirinya sendiri sebagai objek pengenalannya. Jadi, penggandaan di sini ialah bahwa dalam proses pengenalan bukan saja manusia berperan sebagai subjek, melainkan juga sebagai objek.

Untuk menunjukkan kesadaran, dalam bahasa latin dan bahasa-bahasa yang diturunkan daripadanya, dipakai kata conscientia. Kata itu berasal dari kata kerja scire (mengetahui) dan awalan con- (bersama dengan, turut). Dengan demikian conscentia sebenarnya berarti “turut mengetahui” dan mengingatkan kita pada gejala “penggandaan” yang disebut tadi: bukan saja saya sendiri sebagai subjek yang melihat. Bah, kata conscientia yang sama dalam bahasa latin (dan bahasa-bahasa yang serumpun dengannya) digunakan juga untuk menunjukkan “hati nurani”. Dalam hati nurani berlangsung juga penggandaan yang sejenis. Bukan saja manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat moral (baik atau buruk), tetapi ada juga yang “turut mengetahui” tentang perbuatan-perbuatan moral kita. Dalam diri kita, seolah-olah ada instansi yang menilai dari segi moral perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Hati nurani merupakan  semacam “saksi” tentang perbuatan-perbuatan moral kita. Kenyataan itu diungkapkan dengan baik melalui kata latin conscientia.

    Fenomena hati nurani sebetulnya terdapat di segala zaman dan dalam semua kebudayaan. Tapi dulu sering kali belum tersedia istilah jelas untuk menunjukkan fenomena itu. Dalam teks-teks kuno seperti Kitab Suci Perjanjian Lama atau Bhagavad Gita tidak ada suatu istilah untuk hati nurani, tapi fenomena yang dimaksud dengannya di situ sudah dikenal, sebagaimana terbukti dalam contoh ketiga yang diberikan di atas. Istilah “hati nurani” itu mempunyai sejarah berbelit-belit yang tidak perlu ditelusuri di sini.”

 


BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Tujuan pokok pembinaan hati nurani dan mengetahui dasar-dasar hati nurani adalah dengan cara subyektif dan objektif yang benar. Dengan hati nurani yang baik dan benar, seseorang akan selalu terdorong untuk bertindak melakukan kehendak Tuhan dan menuruti norma-norma moral obyektif. Pembinaan hati nurani tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan seseorang tentang kebenaran dan nilai-nilai, ataupun kemampuan untuk memecahkan dilema moral, tetapi juga harus memasukkan ke dalamnya pembinaan karakter moral seseorang secara lebih penuh dan merupakan upaya yang hakiki agar manusia lebih mampu hidup dan bertindak sesuai dengan nuraninya, manusia juga diharapkan bisa terhindar dari kesesatan dalam pengambilan keputusan dan tindakan.
Ciri khas dari suara hati nurani adalah ia tidak dapat ditawar dan hanya sepintas keluarnya dengan atau tanpa disadari, ini berlaku mutlak. Mutlak disini memiliki arti ia tidak dapat ditawar melalui pertimbangan-pertimbangan dalam bentuk apapun. Hal itu disebabkan karena suara hati nurani merupakan suara dari maha mutlak. Tempat berkumpulnya bagi mereka yang hatinya bersih dan tak bernoda dan tempat mengingat tuhan itulah hati nurani. Suara hati adalah suara halus yang murni datang langsung dari kesadaran sang hidup yang ada dalam diri kita yang paling dalam yang bersih dan jujur, tanpa adanya pertimbangan dalam memberikan jawaban.

3.2. Saran

    Hati Nurani merupakan salah satu kunci kita untuk menghadapi bagaimana kuatnya arus globalisasi yang menerjang Indonesia yang juga pasti berakibat kepada dunia pendidikan kita. Oleh karena itu jika sejak awal kita sudah dibekali oleh kekuatan hati nurani yang bersih yang sebenarnya memang sudah kita milik sejak lahir. Maka kita sebenarnya tidak usah takut menghadapi berbagai anacaman yang datang lewat arus globalisasi tersebut. Yang kita lakukan hanyalah dengan berkeyakinan teguh denga apa yang kita miliki denga hati nurani sebagai dasarnya.




DAFTAR PUSTAKA

Bertens. K. 2011. ETIKA. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama
A.Salim. 2012. Jalan Cinta Para Pejuang. Yogjakarta. Pro-U Media
http://akhmad-syaifudin27.blogspot.com/
Editor, 2010. Hati Nurani. http://allamandasyifa.wordpress.com/hati-nurani/
Minglie, K. 2010. Hati Nurani itu, Apa ya (2)
http://filsafat.kompasiana.com/2012/10/04/hati-nurani-itu-apa-ya-2/
Nashrulloh, A. 2009. Filsafat Hati Nurani (Bag. 1).
http://filsafatindonesia1001.wordpress.com/2012/10/04/filsafat-hati-nurani-bag-1/
http://erabaru.net/kehidupan/41-cermin-kehidupan/5830-apakah-hati-nurani-itu
http://id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=522:menghidupkan-hati-nurani&catid=14:politik-hukum-dan-ham&Itemid=131
http:/4112-hati-nurani.html
http://www.sabda.org/reformed/hati_nurani_dan_moral
http://www.antara.co.id/view/?i=1174484778&c=ART&s















Tidak ada komentar:

Posting Komentar